Skip to main content

Tak Gendong: Tak Kemana-mana

Selama ini media berspekulasi dengan falsafah di balik lagu 'Tak Gendong' yang dibuat dan dipopulerkan oleh almarhum Mbah Surip. Konon katanya, lagu itu menggambarkan Mbah Surip yang sangat memperhatikan sesama.

Kata 'tak' dalam bahasa Jawa boleh saja berarti 'saya'. Maka reka-reka tentang profil Mbah Surip bisa dikaitkan dengan isi dari lagu ini. Tapi apa benar profil Mbah Surip seperti yang ditafsirkan orang banyak selama ini? Bagaimana kalau kita menggunakan bahasa Indonesia? 'Tak' berarti 'tidak'. Maka sesungguhnya, 'tak gendong kemana-mana' hanya berarti bahwa Mbah Surip tak menggendong apapun atau siapapun kemana-mana.

Mbah Surip, sudah pergi meninggalkan kita. Saya bukan fan beliau. Tapi saya sungguh terinspirasi. Misalnya bahwa tak ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Semacam, teruslah berjuang hingga akhir khayatmu.

Ya, saya seperti melihat diri sendiri. Saya merasa beberapa fase dalam hidup saya terlambat saya mulai, telat saya dapatkan. Tapi itu menjadi tak berarti penyesalan jika ingat filosofi hidup, tak ada kata terlambat untuk memulai.

Mbah Surip berjuang lama untuk bisa meraih mimpinya jadi seniman yang diakui masyarat luas. Akhirnya tercapai, meskipun tak lama kemudian dia mati. Tak ada yang aneh dengan proses itu. Sebagian orang mengalaminya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.