Skip to main content

Akhirnya, Visa Terbit Juga

26/10/09. Pagi itu saya mendengar kabar dari IDP, agen yang membantu mengurusi segala keperluan saya untuk belajar di Australia, bahwa visa saya sudah jadi. Alhamdulillah, plong rasanya. Dengan begitu saya bisa segera beli tiket, konfirmasi akomodasi, dan packing.

Bayangkan, seolah ada saja hal yang menjadi penghambat. Mulai dari surat dari Setneg yang salah, laporan medical check up yang hilang di kedutaan, foto yang dianggap keliru... Tapi untungnya, saya bisa menghadapi semua itu dengan dewasa tanpa emosional. Saya selalu berujar, semuanya akan beres jika memang harus beres.

Mengurus visa belajar, jauh lebih mudah. Pihak agen melakukannya melalui online. Saya hanya menyiapkan dokumen-dokumen yang diminta seperti passport, kartu keluarga, acceptance letter, salinan buku tabungan dan deposito, surat menikah, akte lahir, surat keterangan kerja istri, foto, dan laporan medical check up ke dokter yang sudah ditentukan oleh kedutaan. Tanpa perlu datang ke kedutaan. Biaya yang perlu dipersiapkan sejumlah 540 AUD berlaku untuk seluruh keluarga. Sebetulnya saya mendapat tawaran dari agen pendidikan lain, harga segitu masih harus dikali jumlah seluruh anggota keluarga. Ah, mahal pisan.

Hal yang lebih penting, akhirnya saya membuat keputusan dan kepastian. Tujuan saya bulat: Edith Cowan University. Inilah jawaban dari segala jawaban yang saya peroleh. Baik-buruk, enak-nggak enak. Saya patut mensyukurinya sebagai rezeki.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.