Saya sedang menunggu peneribtan visa atas nama saya dan keluarga oleh kedutaan Australia ketika tiba-tiba Dikti mengeluarkan pengumuman daftar dosen yang masuk bursa beasiswa ke luar negeri. Tidak terlalu melompat-lompat karena saya yakin tak akan mengambilnya. Saya akan lebih senang memilih yang sudah ada di tangan, Australia. Namun ternyata, pandangan dekanat dan rektorat berbeda. Saya malah direkomendasikan untuk beasiswa dari Dikti saja. Menurut mereka, jatah saya bisa digunakan untuk dosen lain. Masuk akal.
Beasiswa dari Dikti secara jumlah memang lebih besar dari beasiswa yang diberikan oleh IDB (Islamic Development Bank) yang akan mengirimkan saya ke Australia. Namun tentu saya akan kelelahan untuk mengulang proses dari awal. Misalnya wawancara, mengumpulkan dokumen ini-itu, belum lagi jadual kegiatan yang tak jelas. Hal lain yang terpenting adalah waktu transfer uang. Bisa telat berbulan-bulan. Di negeri orang, tanpa uang rasanya hal yang mustahil.
Saya belum bersikap. Pertama, menunggu hasil visa. Kedua, hal-hal lain penentu keputusan. Maksud saya, saya masih terus berdoa untuk mendapat petunjuk dari Sang Mahapemberi petunjuk.
Jika mau berpikir senang-senang, saya lebih senang memilih Belanda. Urusan berbagai macam kesulitan yang mungkin menghadang saya anggap sebagai tantangan saja. Namun saya juga tak harus emosional. Saya berpikir, apa mungkin hal yang sudah ada di tangan harus saya lepas? Sementara untuk menggapai Belanda masih perlu sederet perjuangan.
Saya memposisikan diri untuk tidak jadi pemilih. Saya biarkan semesta memilihkan, atas ijin-Nya. Saya akan tampung semua pertanda kemana seharusnya saya bergerak.
Wallahualam. Semesta yang akan menentukan. Maka saya akan terus berdoa dan bertanya kiri kanan untuk segala kemungkinan jawaban apa kelak.
Comments