Skip to main content

Keinginan VS Super Keinginan

Hampir saya tak pernah berjuang keras untuk sebuah keinginan yang paling saya kehendaki. Saya terlalu kompromi dengan keadaan dan keterbatasan. Saya tak tahu apakah ini kelemahan atau justeru kelebihan saya.

Kali ini, saya memiliki sebuah keinginan yang "begini, begini, begini". Hal yang saya dapatkan hanya "begini". Itu saja sudah membuat saya sangat bersyukur. Namun sebetulnya, jauh di lubuk hati, saya menginginkan "begini, begini" yang lain. Saya sungguh ingin mendapatkannya. Namun seringkali saya tak punya nyali atau saya justeru berfilosofi untuk tidak harus mendapatkannya.

Pertanyaan saya, haruskah?

Saya berhadapan dengan dua aliran pandangan hidup yang berbeda. Pertama, syukuri yang kau dapat sekarang. Kedua, do what do you really want to do. Dua aliran yang juga saya lakukan, namun untuk yang kedua, sangat jarang karena menurut saya terlalu obsesif.

Sebuah obrolan ringan dengan seorang kenalan baru, membuat saya terusik. Tanyanya, mengapa saya tak mewujudkan keinginan yang paling saya inginkan itu? Saya terdiam. Iya, saya tak pernah terpikirkan untuk benar-benar melakukannya. Saya terlalu tahu resikonya, maka saya tak berani. Saya menjadi seorang pengecut gara-gara ini.

Hah, masih saya tak bisa berkeputusan.








Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.