Skip to main content

My First Steps in Perth


Tidak tahu pasti jam berapa pesawat JetStar yang saya tumpangi tiba di bandara Perth. Sepertinya sebelum jam 2am waktu Perth. Handphone belum saya nyalakan dan jam tangan ternyata batrenya mati. Waktu Jakarta dan Perth hanya selisih satu jam, Perth lebih dulu. Alhamdulillah, semua lancar dan sangat mudah setelah terbang kurang lebih 4 jam, kecuali saat mau check in yang penuh dengan masalah berat bawaan.

Setelah mengurus ini-itu urusan imigrasi dan bea cukai, saya keluar buru-buru keluar gedung. Seorang Ibu, tepatnya nenek mungkin karena terlihat sudah sepuh, memegang papan nama dengan nama saya tertulis di sana. "My name is Christina," katanya mengenalkan diri.

Nenek itu yang akan menyupiri saya hingga ke asrama di sekitar Yokine, Mount Lawley. Luar biasa, walaupun sudah sepuh, masih sigap bekerja malam hari, jadi sopir. Saya tidak sendiri, ada siswa lain asal Italy yang juga dia jemput. Bahasa Inggrisnya sangat kacau. Hampir saya tidak paham dengan apa yang dia bicarakan. Anak muda ini tinggal dengan sebuah keluarga Australia.

Jarak bandara ke asrama lumayan jauh, sepertinya. Jalanan sangat lengang. Mendekati Yokine, masuk daerah pemukiman. Saya melongo ketika hampir semua rumah tak menyalakan lampu teras. Penerangan hanya mengandalkan lampu jalanan. Sumpah, saya geleng-geleng kepala. Antara bingung dan kagum. Bingung, bahkan untuk mencari nomor rumah saja Christina harus mengeluarkan lampu senter. Kagum, sepertinya mereka kompak untuk menghemat energi.

Untuk pastinya, saya perlu bertanya nanti. Bagus jika ini ditularkan ke masyarakat Indonesia yang gemar menghambur-hampurkan energi listrik.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.