Skip to main content

Aneka Bangsa dalam Satu Kelas



Akhirnya, kelas yang betul-betul 'kelas' saya nikmati juga di hari ketiga. Saya mendapat 10 minggu kursus bahasa gratis yang ditawarkan oleh ECU sebelum saya memulai kuliah S3 nanti. Bukannya tiba-tiba gratis, tapi saya pakai tawar menawar dulu. Iya, seperti sedang bertransaksi di Glodok. Saya bilang ke Ibu Lany dari IDP, agen pendidikan yang membantu kalau saya tidak mau membayar uang kursus. Saya beraksi begitu karena awalnya setengah hati untuk mengambil kuliah di sini. Dapat syukur, tidak dapat pun tak apa.

Puji Tuhan akhirnya mereka menggratiskan biaya kursus ini. Hah? Saya malah bingung. Artinya, saya perlu banget memasukkan ECU ke dalam keranjang pilihan. Padahal saya sangat under-estimate dengan Perth. Namun apapun, sekarang saya sedang menjalani path saya di ibukota negara bagian barat Australia ini. Inilah yang terbaik.

Kembali ke kelas, saya mendapatkan dua orang guru. Debbie untuk Senin hingga Rabu dan Robin, untuk Kamis dan Jumat. Mereka sangat kasual, santai dan bersahabat. Kesan guru yang menggurui jauh sekali. Kami seperti sedang bicara hal sehari-hari dengan bobot yang tertakar. Sebagai guru, saya sangat memperhatikan hal-hal seperti ini. Tentu saja, saya juga harus melakukan observasi. Siapa tahu ada teknik-teknik mengajar dari mereka yang bisa saya catut.

Saya takjub dengan kebangsaan dari 14 orang yang menjadi teman sekelas: Vietnam, Cina, Prancis, Portugal, Jepang, Korea, Itali, Mexico, Oman, Mauritius, India, Iran, dan Indonesia. Bahkan Debbie, guru saya, juga sangat terkesan dengan keragaman kami.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.