Skip to main content

Masaro, Masyaallah

Sepertinya, kasus Masaro, Antasari, Bank Century, KPK, menjadi sulit dikendalikan. Menjadi bola salju terus bergulung menjadi sangat besar membuka sejumlah aib nasional. Hiruk pikuknya menjadi tak terbantahkan ketika menyeret orang-orang bersih untuk ditumbalkan.

Saya yang semula tidak mau lagi tahu beragam masalah di tanah air seiring kepergian saya ke Perth, terbangkitkan lagi keingintahuan saya ini setelah pulang diskusi politik dengan teman-teman mahasiswa Indonesia. Saya terkompori untuk tetap kritis.

Saya mencoba membuka mata. Betul, kasus tak akan menjadi serumit ini jika tak ada usaha manipulasi dari pihak-pihak yang sangat memiliki pengaruh. Dibutuhkan sejumlah penghianat dari yang terlibat untuk bicara gugur, jika tidak, tentu saja perlu ada yang dikorbankan untuk bisa menyudahi kemelut hitam panjang ini yang dapat mencoreng wajah bangsa.

Membaca status facebook sejumlah sahabat, mengamati berbagai headlines dotkom. Semua orang gelisah. Penasaran dengan akhir cerita dari sebuah konspirasi besar ini. SBY-kah di balik semua ini, sehingga semua jajaran lembaga di bawah pengaruhnya bertubi-tubi membuat beragam kesalahan yang begitu menarik perhatian publik? Skenario satu sepertinya dibuat untuk menutupi skenario lainnya. Mereka panik. Sebagai pendukung SBY, saya tak menghendaki beliau terseret. Namun kasus ini harus diakhiri, kan? Supaya kita semua bisa kembali konsentrasi bekerja.

Membaca thread dari berbagai milis dan forum, banyak orang mendesak dan menuntut kasus ini segera terungkap. Jika benar dibalik kasus ini ada permainan orang-orang kuat, apa jadinya negeri saya nanti? Akankah kasus Trisakti terulang lagi?

Semoga tidak.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.