Skip to main content

Life "Life Circle"

Seorang sahabat pernah menasihati. "Kita tambah hari tambah tua. Kenapa kamu nggak kerja saja di satu tempat dan bertahan untuk waktu yang lama." Tambahnya, kita perlu memikirkan masa depan. Kita perlu memastikan bahwa masa depan kita aman. Saya tertawa getir mengingat sejarah karir saya yang lompat sana lompat sini. Apa yang saya cari? Tidak tahu pasti. Yang jelas, ketika saatnya ingin pergi, yeah, saya harus pergi. Saya pernah mendapat sebuah jawaban bahwa memang sampai waktu-waktu itulah semesta menghendaki saya di sana.

Seperti quantum leaf. Saya berada dimana saya dikehendaki. Jika waktunya habis, saya dengan bantuan semesta akan pergi mencari kemana seharusnya tujuan berikutnya. Karena seharusnya begitulah hidup.

Namun belakangan saya punya pikiran lain. Artinya, pikiran saya terdahulu tentang pindah-pindah pekerjaan itu bukan absolut begitu. Saya sedang memikirkan tentang 'daur hidup'. Seperti sebuah barang yang dijual para pemasar yang mengenal product life cycle, maka hidup manusia pun. Lahir, tumbuh, dewasa, mati. Tapi sesungguhnya tidak sesederhana itu. Melainkan, daur hidup dari hidup kita sendiri yang lebih detail. Misalnya, ketika kita masuk SD, itu adalah sebuah periode dimana daur hidup kita selama enam tahun. Berikutnya, saat kita masuk sekolah lanjutan, kuliah, pun masing-masing masuk dalam hitungan daur hidup.

Ketika masuk sekolah, kita tahu batas kapan masa itu berakhir. Namun saat masuk dunia kerja, kecuali yang sistem kontrak, sering kali kita tidak tahu kapan berakhirnya. Saat saya masuk bekerja di sebuah perusahaan, saya tak pernah berpikir untuk menghitung kapan saya perlu mengakhirinya. Namun ketika saatnya tiba, saya bisa tahu pasti kapan saya harus berhenti. Harus artinya harus. Pernah buta, maksudnya saya betul-betul memaksakan diri untuk keluar tanpa tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Namun seringnya, saya sudah berkompromi dulu dengan semesta. Saya tak mau konyol. Semakin sepuh, puji tuhan, saya semakin bisa mengenal diri apa yang seharusnya saya lakukan berikutnya.

Para pemasar di banyak perusahaan terus berusaha agar produk-produknya tetap terkesan baru. Mereka berinovasi, bekerja keras untuk memperbaharui apapun yang perlu diperbaharui agar tetap mendapat tempat di hati para konsumennya. Tepatnya, itulah yang saya lakukan. Dengan terus bergerak dan berpindah, saya sedang berinovasi dengan hidup saya. Orang lain boleh saja menilainya berbeda, namun bagi saya, itulah hidup yang harus terus diperjuangkan, terus digerakkan, terus berbeda. Daur hidup yang terus hidup. Ketika saya menyadari tren dari hidup saya sudah mulai masuk tahap pendewqasaan, mungkin sebelum akhirnya mati suri, saya perlu melakukan sesuatu yang baru, berinovasi. Menjajal yang baru untuk kemudian menjadi daur hidup dari hidup saya berikutnya.

Saat ini saya sedang memasuki masa perkenalan dari life of life circle yang jika semesta menghendaki, akan berakhir tiga tahun mendatang. Apa yang saya lakukan sekarang, untuk memasuki fase baru hidup saya berikutnya. Begitulah seharusnya hidup.

Comments

Anonymous said…
I just wonderring I am already in "this" situation pak.
hopefully I can see and chooce the way that universe want me to be or I direct the universe to do what I am want to be??.. hehehe

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.