Skip to main content

Mestinya: Maaf, Anak Perawan Saya Mengandung

Sepertinya tak ada keberatan dari sesiapa pun dengan kasus yang menimpa artis belia Sheila Marcia, yang hamil tanpa suami, diumbar di berbagai tabloid dan televisi. Semua asyik menikmati gosipnya. Atau sama sekali tidak perduli sambil berkata dalam hati: ah, urusan dia, gue juga tidak sempurna. Atau malah berpikir: gak mau berkomentar, anak perawan gue juga begitu. Puih!

Kayaknya kita harus munafik berjamaah dalam hal ini. Kita harus pura-pura bersih untuk mengkritisi persoalan yang sesungguhnya sangat mengusik nurani dan dapat menggoyahkan sendi-sendi tatanan sosial kita. Hati-hati, media punya peran mengedukasi masyarakat. Apa yang ada di benak anak-anak dan remaja kita menyaksikan betapa santainya si artis menghadapi masalah yang bagi banyak orang adalah aib. Lihat juga reaksi si ibu yang sama sekali tak menunjukkan sesal dan gagal dalam mendidik anak.

Jangan sampai kasus-kasus hamil tanpa suami menjadi issue kasual karena public figure yang jadi pelakunya tidak menunjukkan rasa malu sama sekali. Kita harus bersama melindungi anak dan remaja kita dari perbuatan cabul di usia dini yang dapat mengakibatkan masalah besar bagi mereka sendiri. Mestinya kita menuntuk Sheila Marcia dan keluarganya untuk meminta maaf kepada masyarakat karena telah memberi contoh tidak baik dan meresahkan semua orang tua Indonesia. Kita juga perlu ingat bagaimana sikap perilaku masyarakat terhadap public figure yang mereka idolakan.

Hayo, lakukan sesuatu.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.