Skip to main content

Kisah TV Bekas 50 Inch


Suatu hari, housemate saya minta tolong untuk mengangkut tv. Katanya besar sekali hingga sulit diangkat sendiri. Padahal saya lagi asyik menulis di kampus. Tanpa banyak tanya, saya cepat pulang dan ikut dia. Kebetulan kepala saya sedang berpikir banyak hal jadinya tidak begitu tertarik untuk tanya ini itu. Ternyata saya diajak ke sebuah daerah dimana hari itu sedang ada hari pembuangan.
Di sepanjang jalan, orang-orang meletakkan berbagai perabotan, mulai dari sofa, kulkas, tv, kipas angin, meja, lemari, dan segala tetek bengek lainnya.
Lalu kami tiba di sebuah rumah warga Aborigin yang di depannya sudah menumpuk barang bekas. Ada sekitar 7 buah tv di sana. Tapi housemate saya hanya mengambil yang besar saja. Iya, mungkin sekitar 50 inch. Besar dan berat. Jika tv tersebut masih bagus kondisinya, pasti bakalan asyik. Apalagi bisa 3D juga.
Sayangnya, setelah tiba di rumah, tv dicoba stel, ternyata kualitas gambarnya buruk sekali. Lalu ketika malam tiba, kami berdua keliling Maylands mencari tempat kosong untuk membuang kembali tv tersebut. Begitulah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.