Skip to main content

Semester Pertama yang Berat


Mencari literature, baca, terus menuangkannya dalam tulisan untuk mendukung semua ide riset PhD rasanya bukan pekerjaan mudah buat saya. apalagi harus dalam bahasa Inggris dengan standar akademi global. Wuah... Serasa ingin jejeritan.

Professor yang mestinya jadi supervisor saya sakit, lalu ditunjuklah seseorang yang lain. Ketika saya presentasi draf proposal, ada pergeseran kasus yang hendak diteliti. Karena pergeseran itu, saya harus membangun proposal dari awal lagi, dengan ide dan literatur baru. Exiting memang, tapi itu harus dibayar mahal dengan kerja tujuh hari seminggu berkutat dengan buku dan jurnal!

Lalu saya berpikir ada baiknya juga belum membawa keluarga karena pasti mereka akan terabaikan. Fisik, pikiran, dan hati saya hanya untuk penelitian saat ini. Mungkin ketika memasuki semester kedua, mungkin akan lebih longgar. Tinggal mengumpulkan data dan mengolahnya. Tapi belum tahu juga. Saya menemukan sejumlah sahabat yang meskipun lebih dahulu satu semester dari saya, tapi hingga memasuki semester kedua, mereka masih mengotak-atik proposal. Well, bisa jadi tergantung siapa supervisornya.

Belum lama saya minta bertemu dengan seorang konsultan academic writing di kampus. Orangnya baik dan sangat mau menolong. Saya titipkan progres pekerjaan. Dua hari kemudian kami bertemu lagi membahas kalimat demi kalimat yang saya buat. Mulas rasanya. Dua jam hanya untuk membahasa dua alinea saja. Bayangkan, bagaimana dengan 16 halaman yang sudah saya buat? Syukurlah, tulisan saya masih dinilai baik meskipun dengan banyak catatan dari dia. Ketika saya ceritakan kepada seorang sahabat Australia, eh, bule ini juga berencana berkonsultasi.

Saya teringat obrolan beberapa hari sebelumnya dengan seorang mahasiswa internasional yang karena menurut konsultan ini tulisannya masuk kategori buruk, dia lalu menulisi supervisor sahabat saya itu agar yang bersangkutan dipecat! Dianjurkan pindah ke kampus lain yang memang boleh menggunakan bahasa Indonesia. Sadis pisan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.