Skip to main content

Ikuti Saran Supervisor Biar Tidak Linglung

Awalnya saya tidak sependapt dengan saran supervisor riset saya untuk mulai fokus bekerja pada satu topik. Saya tidak bisa bekerja dengan cara begitu. Saya lebih tertarik membaca banyak topik supaya bisa segera tahu permasalahan secara gamblang dan kemana riset saya akan diarahkan. Padahal tentu saja karena kurangnya pengalaman saya dalam membuat penelitian.

Dua minggu hanya baca dan menulis satu topik benar-benar menyiksa. Dua minggu dari waktu yang dijadualkan, saya sama sekali tidak sungguh-sungguh mengerjakan apa yang seharusnya saya kerjakan. Tapi karena saya harus bertemu keesokan harinya, dengan sistem kebut semalam, syukurnya saya bisa datang dengan membawa progres. Bukan progres yang diarahkan beliau, melainkan progres sesuai dengan pola pikir saya. Saya anggap, ini projek saya, bagaimana saya bekerja, mestinya terserah saya, dong. Saat itu, supervisor saya menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Apapun caranya, yang penting progres harus tetap ada.

Dua minggu kedua, saya masih melakukan hal yang sama. Tapi kali ini ternyata terlalu meleset. Topik yang saya bahas bukannya mengerucut, malah melebar. Dari situ, supervisor mulai meninggikan suaranya. Dia mulai memainkan intonasi agar saya mengikuti cara dia. Well, saya mengalah karena saya memang mulai kebingungan dengan pola yang saya kerjakan. Linglung. Saya mulai berpikir, tak ada salahnya mencoba cara yang bukan gaya saya.

Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, saya mulai menemukan irama dan merasakan nikmat dari cara selangkah demi selangkah tapi fokus pada topik-topik khusus. Pada pertemuan berikutnya, saya sudah mulai bisa menebak arah penelitian saya mau kemana. Begitu saya ajukan sejumlah research question yang saya formulasikan, yes, saya mendapat dukungan dari supervisor. Ternyata begitu mungkin seharusnya bekerja untuk sebuah penelitian.

Selanjutnya, saya tak mau ambil resiko dengan keras kepala memaksakan cara saya kalau tidak mau tersasar. Sekarang alhamdulillah, semuanya terkendali. Jika saya punya ide, saya diskusikan dulu. Jika menurutnya layak dan memang sejalan dengan riset saya, akan saya kerjakan. Jika tidak, meding jangan. Saya tak perlu buang waktu.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.