Skip to main content

Menjadi Advokat, Bukan Pekerjaan Sederhana

Sejak November 2009 saya terdaftar sebagai voluntir di Citizen Advocate, sebuah organisasi nirlaba di Perth. Pekerjaan saya hanya menjadi teman untuk seorang 'klien' yang karena suatu hal, orang ini masuk ke dalam 'daftar orang yang harus menerima perhatian khusus' pemerintah Australia. Mudah tapi susah.

Orang ini, saya sebut saja John, berusia 50 tahun lebih. Dia pernah mengalami kecelakaan pada saat remaja hingga dia mengalami short memory syndrome, sebuah keadaan dimana tak bisa mengingat apapun untuk kurun waktu lama. Beruntungnya dia hidup di negara maju seperti Australia yang memiliki perhatian khusus pada kesetaraan hak warga. Rumah dapat, uang saku mingguan, tunjangan ini itu, termasuk mendapat 'teman' seperti saya yang mestinya, tiap minggu bersedia meluangkan waktu barang satu jam untuk melihat dia. Sekedar mengobrol agar dia tak kesepian dan merasa mendapat perhatian. Kebetulan si John ini hidup sebatang kara. Tapi itulah susahnya, sering kali saya tak sampai seminggu sekali meluangkan waktu. Saya terlalu sibuk dengan urusan saya. Maafkan saya, John.

Saya tak akan cerita detail tentang 'hubungan' yang terjalin antara saya dengan John, karena kuatir dianggap menyalahi kontrak tentang privacy dan segala rupa yang berhubungan dengan keadaan klien saya itu. Di Australia, biarpun untuk bekerja sebagai voluntir, tapi proses rekrutmennya njelimet dan ribet, menurut saya. Kasarnya, kerja tidak dibayar tapi bertele-tele. Sekali lagi, ini Australia. Dan saya senang melakukannya.

Minggu, 11 April, saya mendapat undangan untuk kumpul bersama advokat lain dan masing-masing protege-nya. Saya jemput John, lalu kami bersama ke tempat acara. Kegiatan yang ada di sana, cuma sekedar mendengarkan lagu-lagu lawas berirama riang, menari-nari, ngobrol kira-kanan, termasuk makan-makan ringan. Saya tak kuasa menitikkan air mata saat dance di antara orang-orang yang 'kekurangan' ini. Gerakan mereka monoton goyang kanan-goyang kiri atau ke depan-ke belakang berulang-ulang. Tapi bukan itu yang membuat saya haru. Ada sebuah perasaan aneh penuh sensasi yang membuat saya bahagia campur syukur. Saya di tengah orang-orang asing yang tak saya kenal sebelumnya, tak ada ikatan darah, ikatan sejarah atau apapun, tapi saya merasakan sebuah derajat keseimbangan yang saya percaya itulah yang Tuhan kehendaki atas semua manusia untuk memandang sama manusia lain, tanpa syarat.

Lihat, bagaimana kegembiraan tergambar di setiap ekspresi wajah orang-orang yang kekurangan itu, yang rata-rata mengalami keterbelakangan mental. Dengan kepolosan mereka, dengan kenaifan mereka. Lihat juga orang-orang 'normal' yang menemani, mereka yang dengan kebesaran hati telah menerima apa adanya segala kekurangan dari orang yang mereka jaga.

Mahabesar Sang Pencipta.





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.