Skip to main content

Sekali Lagi, tentang Karma

Sangat sulit menjelaskan apa itu karma pada orang-orang yang sudah didogma oleh satu keyakinan tertentu karena konsep karma hanya dikenal pada konteks Budhis. Karma berhubungan dengan aksi dan reaksi. Mengingatkan saya pada Hukum Newton 3, ada aksi ada reaksi. Sesuatu yang sederhana untuk dimengerti. Jika kita bicara kasar sama seseorang, akibatnya sudah bisa kita tebak.

Saya melihat karma dari sudut berbeda. Kebetulan beberapa hari ini saya terlibat banyak perbincangan dengan beberapa sahabat dengan sejumlah kasus yang berbeda.

Seorang sahabat, karena memiliki kamar kosong di rumah yang dia kontrak, dia mengontrakan kembali kepada orang lain kamar tersebut. Sayangnya, orang asing ini berperilaku sangat tidak menyenangkan. Sahabat saya berpikir untuk mengusir orang ini. Saya bilang jangan, biarkan orang itu di sana sampai waktunya tiba dia keluar sendiri. "Kamu selesaikan karma kamu karena jika tidak, kamu akan bertemu dengan orang yang serupa seperti itu."

Sahabat saya yang lain mengeluh karena dua orang saudaranya tak henti-hentinya merongrong uang yang tidak sedikit dan terjadi setiap bulan. Saya bilang, jika dia punya rezeki, beri saja. Jika tidak ada, katakan saja karena itu bukan kewajiban dia.

Lalu saya melihat pada diri sendiri. Sebelum menikah, saya benar-benar terpuaskan dengan kebebasan yang saya miliki. Setelah menikah, semua kebebasan masa lajang menguap begitu saja. Saya percaya, karma sedang bekerja.

Saat ini pun karma sedang bekerja. Karena karma berhubungan dengan waktu, semakin cepat saya menyelesaikan setiap persoalan, semakin cepat suatu karma berlalu. Karma lama akan berganti dengan karma yang baru. Karma saya sekarang sedang sendiri lagi. Tapi ternyata bukan sendiri seperti masa lajang lalu. Buktinya saya tak bisa berbuat bebas seperti dulu. Bukan saja karen sedikit peluang, tapi niat dan keberanian pun nyaris tak ada untuk mereguk arti kebebasan yang sesungguhnya. Karma lain, saya sedang melanjutkan sekolah, sudah tidak lagi membiayai adik-adik saya kuliah karena mereka sudah selesai semua, tidak lagi terlibat bisnis dengan orang-orang licik, masih dijahili orang meskipun saya tak berbuat apa-apa...

Kadang, karma itu kita sendiri yang menentukan kapan berakhirnya. Tapi, tentu saja atas seijin sang semesta. Karena rahasia-rahasia hidup akan selalu penuh kejutan.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.