Skip to main content

Kita Membutuhakn Polisi dan Hakim yang Tegas, Bukan Presiden yang Hebat

Beberapa hari terakhir ini saya berpikir: kapan Indonesia bisa sejahtera? Apa benar keterpurukan suatu bangsa karena tergantung pemimpinnya? Masalah sepertinya merongrong dari segala arah mata angin dan menyerang seluruh sendi bernegara dan bermasyarakat.

Sampai akhirnya saya yakin bahwa keterlambatan Indonesia menjadi negara yang maju karena lemahnya para penegak hukum dalam menjalankan fungsi mereka. Saya menunjuk dua intitusi negara yang sangat memiliki peran penting untuk mewujudkan kondisi negara yang diharapkan, yaitu kepolisian dan pengadilan. Jika ada suatu kasus dimana presiden harus menentukan sikap, dia hanya bisa berucap. Sementara yang harus bekerja adalah polisi dan pengadilan. Bahkan, presiden bisa saja melakukan kesalahan. Namun jika polisi dan hakimnya profesional, tidak gila harta, tidak gila jabatan, rasanya negara akan aman. Melihat ketegasan polisi dan pengadilan, masyarakat pun akan melihat dan menilai. Justeru dengan begitu, masyarakat akan berpikir, pejabat tinggi saja bisa diringkus apalagi jika rakyat biasa. Meskinya, kasus-kasus besar yang melibatkanorang- orang besar di tanah air harus dilihat sebagai kesempatan bagi kepolisian dan pengadilan untuk 'mencitrakan' diri sebagai pemagang kekuasan. Bukan boneka.

Para pemimpin di lembaga kepolisian dan pengadilan perlu berpikir bahwa jabatan yang sekarang mereka emban seolah adalah jabatan terakhir sebelum mati. Supaya mereka tak perlu bersaing dengan mantan pejabat sebelumnya untuk berlomba menggelembungkan uang tabungan atau sibuk mencari orang yang dapat menjanjikan karir apa yang kelak mereka raih.

Seharusnya dengan gaji yang mereka terima, sudahlah, tanpa harus terobsesi ikut Tatler's member club yang dapat menyeret mereka pada keserakahan mencatut profit dari mana-mana. Tak perlu juga membuat alasan untuk pergi ke Mekah jika tak mampu. Tuhan tidak buta, haji hanya untuk orang yang mampu.

Suatu ketika, suatu ketika, suatu ketika, saya percaya, akan lahir jajaran pejabat polisi yang punya iman sebetul-betulnya iman, jajaran hakim yang memiliki hati sesejatinya hati.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.