Skip to main content

Mau Panjang 'Umur' dengan Nama Harum atau Busuk?

Ketika sedang menulis penelitian, saya menemukan banyak jurnal yang ditulis dan dipublikasikan sejak puluhan tahun lalu. Saya membayangkan berapa usia para penulisnya kala itu. Bisa jadi sebagian dari mereka sekarang sudah meninggal. Biarpun begitu, ternyata buah pikirnya tetap menjadi rujukan banyak orang untuk penelitian maupun praktek keilmuan. Tak hanya pada jamannya, tapi juga sekarang, dan mungkin hingga akhir jaman. Saya kira inilah yang dimaksud dengan 'panjang umur'. Lalu saya berkhayal bisa berkarya seperti orang-orang itu suatu ketika.

Setiap tahun orang-orang menyalami kita dan berujar 'semoga panjang umur'. Tanpa mau berteori tentang umur, saya kira umur setiap orang sudah tertentu berapa. Tapi sebetulnya jika menggunakan konsep yang saya gunakan, kita bisa memperpanjang umur dengan karya dan apa pun yang kita perbuat selama kita hidup. Mau karya besar mapun kecil, karya termasuk maupun terlupakan, karya nyata maupun sekedar ide. Persoalannya adalah tinggal pilih saja, mau berumur panjang dengan nama harum atau nama busuk.

Nama harum, ambil contoh saja para pejuang nasional seperti Jendral Soedirman, Jendral Soebroto hingga Soekarno. Atau ambil contoh sosok-sosok seniman seperti Ismail Marzuki, WS Rendra hingga Benyamin Sueb dan Chrisye. Nama mereka tercatat dalam sejarah dan akan terus ada hingga bumi lenyap mungkin. Sedangkan kita pun bisa ber'umur' panjang dengan nama busuk yang kita ukir sendiri. Sebut saja misalnya para penghianat bangsa yang memilih menjadi koruptor, penjahat perang atau pemimpin yang tidak amanah.

Anda bisa memutuskan dari sekarang. Mau berumur panjang seperti bapak Anda yang meskipun bukan sosok terkenal tapi umurnya abadi menjadi pondasi mushola di kampung anda dan memiliki anak soleh seperti anda atau mau seperti Gayus, pegawai negeri yang karena ketamakan dan kebodohannya telah mengukir nama baunya di seantero media? Atau seperti hakim yang mau menerima uang dari orang yang seharusnya dia jatuhi hukuman? Atau seperti para pengacara yang bersilat lidah memutar balikan fakta demi kemasyuran dan komisi atas pemenangan perkara dari kliennya yang seharusnya meringkuk dalam penjara?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.