Skip to main content

Rumah Baru




Di ruas Barnes St Innaloo, ada tiga buah rumah dengan desain sama. Well, sebetulnya memang konsep perumahan di Australia Barat rata-rata sistem cluster terdiri dari beberapa rumah saja dengan desain yang sama rasa setiap clusternya. Ada yang cuma tiga, ada yang hingga 7 unit. Tidak seperti di Indonesia yang satu cluster bisa 100 unit dengan desain kembar.

Lokasi rumah yang saya sewa dengan dua orang teman lain asal Australia ini tepat di pinggir jalan. Bahkan halte bis tepat di sebelah pintu masuk komplek. Rumah-rumah ini baru setahun lalu dibangun. Saya cukup membayar 120 AUD per minggu, di luar biaya gas dan lsitrik. Meskipun resminya di rumah itu ada tiga kamar, tapi sehari-hari hanya berdua saja karena salah seorang lain lebih sering menginap di rumah pacarnya.

Alhamdulillah, sejauh ini setelah dua minggu lebih saya menempati rumah itu, rekan serumah saya berhati baik. Tidak cunihin, tidak mata duitan. Memang bukan orang yang rapi dan resik. Piring habis pakai biasanya tak langsung dicuci atau botol-botol minuman bisa berserakan dimana-mana. Buat saya, tak masalah. Kalau saya sempat, saya bantu bersih-bersih, jika tidak, bisa kapan saja. Semua berjalan dengan santai dan tanpa tekanan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.