Ketika teroris lokal banyak mati terbunuh saat penyergapan saat Densus 88, sebagian masyarakat kita kagum dengan kesigapan tim ini. Sebagian lain, prihatin. Dengan mengusung isu HAM, mereka protes. Ada lagi yang mengatasnamakan perjuangan, malah mengutuk aksi pencegahan polisi tersebut. Bahkan ada yang menghujat presiden karena menurut mereka, maraknya kegiatan teroris disebabkan karena kepemimpinan beliau yang kurang hebat. Di sisi lain, ada yang mengelu-elukan para tersangka teroris yang tewas sebagai pejuang agama yang mati sahid di jalan Tuhan.
Lalu, ketika penyerbuan tentara Israel terhadap para relawan di teluk Gaza terjadi, banyak pihak mengutuk. Sebagian kecewa karena ulah brutal para tentara itu telah membunuh dan melukai orang-orang yang justeru sedang mengusung misi kemanusiaan bagi para korban perang. Sebagian lain dengan mulut dan tulisan penuh kebencian dan sumpah serapah, menghujat Israel sebagai bangsa yang tak bermoral. Bahkan ayat-ayat dari kitab suci di-copy paste untuk menghalalkan hujatan mereka tanpa menyadari bahwa ayat-ayat yang mereka comot sembarangan itu adalah hoax, terjemahan yang dikelirukan oleh orang-orang iseng. Mereka, para pemarah itu, merasa telah menyuarakan pesan Tuhan kepada segala segenap umat dan berharap mendapat pahala karena telah melakukannya.
Saya bergidik mendapati perangai laten dari masyarakat kita. Ternyata, kita sangat pemarah, tak pintar, dan tak bijak. Tidak heran jika perang antar kampung, antar agama, antar suku di sejumlah tempat di tanah air terus berlangsung tak berkesudahan bahkan untuk persoalan sepele. Kita gampang tersulut. Gampang diadu domba.
Easy come, easy go. Orang-orang yang beberapa hari lalu sibuk petantang-petenteng mengotori mulutnya dengan mengutuk Israel, bangsa dan leluhur para nabi dalam agama mereka, tiba-tiba sibuk men-download video mesum selebritis dan dengan gagah saling menukar informasi tentang cerita-cerita yang berhubungan dengan para pemerannya. Luar biasa. Saat itu, mereka lupa untuk googling ayat terjemahan yang berkaitan dengan kemaksiatan. Atau mereka berpikir bahwa dengan menonton atau sekedar bergunjing masih bagian dari mengejar pahala.
Agama saya Islam, agama yang diwariskan oleh orang tua dan para karuhun dan dikatakan berkali-kali oleh para guru agama saya di madrasah dan di SD sampai SMA sebagai the best religion in the world. Saya tak pernah mau mendebat, takut dosa, tentu saja. Namun demikian, saya tak mau menjadi bagian dari stereotip orang Islam Indonesia yang pemarah, penghujat, dan munafik. Saya ingin terus memegang teguh agama saya karena saya yakini kebenarannya. Tapi cara saya beragama, tidaklah kuno dan primitif karena saya hidup tidak di jaman ketika firman dan hadist dicatatkan. Saya percaya agama untuk menjadi panduan hidup, untuk memudahkan dan untuk dikasualkan.
Kita berbuat baik, bicara baik, berpikir baik, menulis hal-hal baik, sebaiknya bukan hanya karena agama menyuruh kita begitu. Namun karena kita manusia terbaik yang pernah Tuhan ciptakan.
Comments