Skip to main content

Day 1. Oxford, Akhirnya...


















Alhamdulillah, tiba di London Sabtu pagi di sambut angin summer yang hangat. Bawa jaket dan sweater bakalan tak terpakai sepertinya. Belasan jam di pesawat bikin badan pegal-pegal bukan main. Kalau mengikuti keinginan raga, maunya istirahat dulu. Tapi mengingat saya tak paham kondisi transport di UK, saya mending tak buang waktu. Saya memang sudah merencankan untuk langsung menuju Oxford, tempat saya akan mengikuti seminar daripada berleha-leha dulu di London. Dijamin saya tak akan bisa menikmati. Saya perlu aman dulu, baru perasaan bisa lega.

Setelah tanya ke bagian informasi di Gatwick airport,-London, tiket yang sudah saya pesan melalui online di Australia, harus diterbitkan dari mesin khusus yang letaknya di airport bagian selatan. Ada bis khusus yang mengantar saya ke sana.


















Kereta menuju Oxford, datang sesuai jadual. Petugas pemeriksa tiket menghampiri semua penumpang saat kereta melaju, sangat ramah meminta saya menunjukan tiket. Setelah melalui beberapa stasiun kecil, saya tiba di Reading station, untuk kemudian pindah kereta yang mengarah ke Oxford.

Keluar dari Oxford station, saya diarahkan oleh petugas informasi untuk naik bis tingkat nomor 5. Hal yang mengejutkan, ternyata hostel tempat saya menginap hanya sekitar 200 meter dari stasiun. Oalah, kalau tahu begitu saya tak perlu beli tiket terusan. Untung, begitu naik saya langsung tanya minta ditunjukkan arah ke sopir bis. Baru saja duduk, langsung turun lagi.


















Oxford Backpackers Hostel yang saya booking, terletak di lantai dua dengan eksterior dan interior khas. Sejumlah penghuni dari berbagai negara sedang memadati common room. Masih sekitar jam 10 pagi dan saya belum dibolehkan masuk kamar sebelum jam 1.30 pm. Untung ada jaringan internet yang bisa saya gunakan dengan gratis sehingga saya bisa mengabari istri.

"Istriku sayang, saya sudah tiba di Oxford..."


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.