Skip to main content

Razia HP Siswa oleh Guru: Pemerkosaan Hak Azasi

Sejumlah pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional belum lama ramai membuat wacana untuk melakukan razia telpon selular siswa sekolah. Meskipun saya tpaham dengan alasan mereka, agar anak-anak sekolah tidak bersentuhan dengan video-video dan gambar porno menyusul bocornya video mesum mirip selebritis, tapi saya tidak setuju jika harus melakukan razia.

Pertama, telpon selular adalah barang pribadi yang sangat hakiki bagi seseorang. Maka, menghargai dan menghormati hak pribadi mestinya dinomorsatukan. Jangan sampai demi mengejar tujuan tertentu yang dianggap baik namun kemudian justeru memperkosa hak-hak azasi siswa. Meskipun siswa masuk kategori anak-anak atau remaja, tapi bukan berarti guru, kepala sekolah maupun institusi lain bisa berbuat seeanknya.

Kedua, seberapa efektif jika razia dilakukan padahal anak-anak masih bisa mengakses video dari rumah maupun dari warnet? Jika memang berniat, beri sangsi pada pemilik warnet yang memberikan fasilitas akses gambar dan video porno.

Ketiga, siapa yang akan melakukan razia? Para guru? Polisi? Polisi moral seperti FPI (Front Pembela Islam)? FBR (Forum Betawi Rembug)? SAtpol PP? Saya pikir lebih pantas jika guru menghimbau siswa untuk menghindari menonton video yang dihebohkan itu daripada menggeledah properti mereka. Atau, kerja sama dengan orang tua untuk berdialog dengan anak-anaknya. Mencerdaskan siswa lebih penting daripada mengintimidasi. Penggeledahan bukanlah solusi. Malah justeru memberikan kesan pembodohan daripada mendidik.

Selain itu, jika pengeledahan itu memang menjadi jalan terakhir yang akan ditempuh, sebaiknya geledah dulu telpon selular dan komputer para calon penggeledah. Biar jujur dan objektif.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.