Skip to main content

"What A Man Can Be, He Must Be"

Saya sedang mempelajari teori kebutuhan yang ditulis oleh Abraham Maslow tahun 40-an ketika menemukan kalimat "what a man can be, he must be". Istilah ini bukan lahir dari pemikiran dia, tapi hasil comotan dari seorang penulis lain bernama Kurt Goldstein. Diceritakan, pada tingkat terakhir dari kebutuhan dasar manusia, ada yang dinamakan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Level tertinggi ini, tentu saja bisa dicapai oleh seseorang jika kebutuhan-kebutuhan dasar yang lebih rendah sudah terpenuhi, seperti misalnya: makan, rasa aman, cinta, dan kenyamanan. Agak lama saya mengunyah bagian ini, untuk kemudian merefleksikan ke dalam diri saya. Saya bisa jadi apa, maka saya harus jadi yang saya mau.

Misalnya, saya ingin melawat ke China, maka saya mesti mewujudkan keinginan saya. Setelah itu tercaoai, apakah saya berarti telah memenuhi seluruh kebutuhan dasar saya? Hmm, rasanya contoh ini kurang tepat. Contoh lain, saya ingin jadi guru. Lalu jadilah saya guru. So what? Tapi memang begitulah pemahaman teori ini. Jika kemudian setelah jadi guru saya bermimpi lain, maka ketika mimpi itu terwujud lagi, will be another satisfaction. Dan manusia memang tak akan berhenti untuk terus mengejar apa yang diinginkan.

Balik lagi ke contoh pertama, saya rasa tetap relevan untuk dijadikan pemisalan, setidaknya untuk satu aspek dari sejumlah aspek yang saya miliki. Misal lain, saya pernah tergila-gila sama fotografi. Pernah ambil kursus supaya mengenal teknik, pernah berpameran, pernah berkomunitas dengan orang-orang yang suka foto juga, pernah juga berkeinginan jadi fotografer profesional. Lalu pelan-pelan hasrat itu bergeser ketika klimaks sudah saya lewati dan saya mencurahkan pada hal lain untuk kemudian saya tinggalkan juga ketika hasrat untuk melakukan hal baru lainnya atau bahkan yang lama muncul.

Terbit, dikejar, dicapai, ganti lagi. Begitu terus. Saat ini mungkin saya sedang berada pada satu tahap dasar dari perjalanan untuk menjadi PhD. Setelah itu tercapai kelak, what I can be, I must be..., kepuasan akan saya dapati. Saat itulah saya akan merasa telah mengaktualisasikan mimpi saya jadi nyata. Tapi, itu bukan berarti final karena saya percaya akan ada perburuan lain untuk mencapai kepuasan lain, bentuk aktualisasi diri lain. Misalnya, jadi seorang menteri...


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.