Skip to main content

"Banyak Uangnya, Ya?"


















"Jalan-jalan mulu. Banyak uangnya, ya?" Sejumlah sahabat berkomentar demikian. Saya gagap menjawab.

Uang selalu identik dengan sebuah perjalanan apalagi jika dilihat cuma sekedar untuk liburan. Sepertinya saya harus meluruskan bahwa uang bukanlah patokan dari niat dan itikad. Bagi orang-orang tertentu, melakukan perjalanan ke luar negeri bisa jadi hal yang luxurious. Namun bagi orang lain, bisa jadi hal yang sangat kasual. Lalu bagaimana dengan saya?

Well, saya anggap saja ini sebagai tugas yang harus dilaksanakan. Tugas hidup, karena semesta menghendaki saya berpergian. Saya anggap sebagai bagian dari perjalanan spiritual. Sebagai ziarah untuk melengkapi nilai religius yang saya miliki. Saat dimana saya bicara banyak dengan diri sendiri, dengan dunia, dan dengan Tuhan.

Tak banyak orang akan memahami apa yang saya pahami. Karena memang tak perlu. Ada orang-orang yang memberi label saya orang aneh. Saya senang menerimanya karena mungkin begitulah saya. Sekedar untuk menghindar dari keseragaman.

Saya androgini. Banyak orang tahu. Ada yang menjadikan ini bahan ejekan, ada yang sebodo teuing lalu menjadikan saya bagian dari mereka. Sementara saya ingin merasa aman dan nyaman, saya memilih menghindar daripada berkompromi dengan orang-orang yang menganggap kekurangan saya adalah aib yang menyenangkan bagi mereka. Saya tak mau pandangan sinis mereka mengkerdilkan. Saya kadang sesumbar, saya tak butuh mereka karena pandangan sempit mereka. tapi saya tak bisa menyalahkan. Bukan karena mereka bodoh dan kurang berpendidikan. Hanya karena mereka tak bisa menjadi manusia yang baik dan menghargai orang.

Jadi, apakah saya punya banyak uang karena saya melakukan perjalanan yang jauh dan lama? Sama sekali tidak. Saya manusia sederhana yang sama sekali tak punya banyak uang. Saya hanya punya kesempatan-kesempatan yang saya manfaatkan. Itu saja. Saya melihat peluang dan saya jadikan itu tambang emas.

Saya kira ada hubungannya antara perlakuan orang-orang selama ini terhadap saya dengan apa yang saya lakukan sekarang. Saya menjauh, menyendiri, marah, sedih, ingin beda, karena orang-orang pernah memperlakukan saya dengan sangat tidak adil. Dan saya tahu siapa saja yang harus saya hindari karena saya tak mau kalah karena cemoohan mereka.

Bukan saya yang butuh mereka.

"Banyak uang, ya? Jalan-jalan melulu..." Bukan uang yang saya miliki, tapi harga diri. Saya berjuang untuk harga yang ingin saya pasang. Bukan remeh temeh.

Comments

Yudi Darmawan said…
waaah..
hobi bertualang juga ya mas,
sama donk,
tapi kalo saya dalam negri aja,
hehe..
nice post, salam..
Anatomi Angin said…
hi, yudie. yeah dulu gitu. sekarang sudah membatasi diri karena sudah berkeluarga. tapi begitu ada kesempatan, benar-benar dimanfaatkan.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.