Skip to main content

Speaker's Corner


































Begitu lewat salah satu pojok Hyde Park, taman terluas di London, saya melihat kerumunan orang yang betul-betul membuat saya penasaran. Apakah ada event perusahaan? Tour?

Begitu tiba, saya baru ngeh kalau itu adalah Speaker's Corner, tempat orang bicara bebas bikin panggung sendiri dan mencari massa sendiri. Hari Minggu itu sejumlah orang dari yang berwajah Arab, India, Afrika, hingga kulit putih bicara lantang tentang agama-agama yang mereka yakini kebenarannya. Pengunjung yang mendebat, langsung buka alkitab atau Quran. Mereka bicara dengan argumentasi yang kuat. Seolah tak ada yang mau kalah. Meski demikian, tak ada yang saling hina meskipun urat leher mengencang dan mulut berbusa. Tak perlu ada yang tersinggung juga. Semua berjalan aman dan saling menghormati.

Saya membayangkan kalau pojok seperti ini ada di Indonesia. Belum-belum pedang melayang.

Namun tak selalu semuanya serius. Ada sekelompok anak muda yang menawarkan 'Free Hug'. Kebebasan berekspresi gaya lain. Semua orang boleh memeluk mereka jika mau. "For fun", kata salah satu dari mereka ketika saya tanya. Di pojok lain, ada dua orang kulit hitam yang nge-rap.

Comments

roi said…
Cuma mau share aja, Free Hug di London sana itu sepertinya bagian dari Free Hug Campaign.
Dasarnya sih, katanya hug atau berpelukan itu bisa membuat orang nyaman dan mengurangi stres. Ini malah ada portal resminya: http://www.freehugscampaign.org/
Anatomi Angin said…
hi roi,
thank info tambahannya. ternyata meskipun tidak dikeruminin banyak orang, ternyata tak berhenti orang datang untuk memeluk orang-orang ini dan berfoto bersama. it was really fun to see.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.