Skip to main content

ABB, Siapa Peduli?

Portal berita online memasuki bulan ramadhan ini diramaikan oleh berita penangkapan ABB -Abu Bakar Ba'ashir. Karena ini bukan kali pertama, sungguh tidak mengejutkan. Atau justru mengejutkan? Lupa bagaimana perasaan saya. Apa mungkin karena saya sudah tidak perduli?

Ketidakpedulian saya, karena Polri, pihak dulu begitu keukeuh bilang punya bukti terhadap keterlibatan ABB, kemudian melepaskan tokoh ulama itu dengan alasan bukti tidak cukup kuat untuk mempidanakan dia. Sekarang, mereka bicara hal sama, bilang punya banyak bukti juga.

Tidak peduli, karena akhir dari putusan banyak kasus sepertinya mudah ditebak. Banyak kompromi sehingga jalannya sidang dan putusan akhir terlalu mudah dicampuri oleh pihak-pihak lain yang berpengaruh.

Tidak peduli, karena memang ragu dengan kemampuan Polri. Mungkin mereka hebat saat menangkap tokoh-tokoh teroris kasus Bali dan Jakarta. Tapi itu tentu saja karena desakan dan bantuan asing. Tapi kehebatan itu pudar karena kasus-kasus tidak jujur yang dilakukan oleh para petinggi Polri sendiri atas berbagai kasus yang terjadi di tanah air.

Apakah ABB terlibat? Bodoh jika dia terlibat. Sangat bodoh lagi jika dia harus tertangkap.

Saya peduli, terorisme harus dibasmi hingga tuntas. Bahkan kalau perlu keluarganya diadili juga jika mereka tahu tapi tidak melaporkan. Agar tidak ada regenerasi, tidak ada solidaritas.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.