Skip to main content

Donor Darah di Perth



Sudah berniat sejak tahun lalu, tapi baru hari ini kesampean ke kantor pusat donor darah di Wellington Street. Prosesnya hampir sama dengan yang terjadi di tanah air, meskipun ada proses di sini yang lebih modern dan tampaknya lebih higienis. Pendonor, diminta melakukan reservasi dulu agar tidak bisa dilayani dengan baik. Tapi jika pun tidak sempat, boleh datang langsung. Mungkin karena saya pendorong pemula, saya diminta mengisi angket yang panjang berisi sederet pertanyaan dari yang biasa sampai yang 'luar biasa'. Misalnya, apakah pernah melakukan hubungan seksual anal maupun oral dengan sesama jenis? Apakah pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom? Pertanyaan lain yang menurut saya biasa, antara lain, pernah ditato atau tindik dalam tiga bulan terakhir?

Semoga darah yang saya tumpahkan bisa bermanfaat bagi yang membutuhkan. Ibarat nostalgia apa yang sudah saya rutin lakukan di Jakarta. Seingat saya, saya memulainya di Bogor tahun 1989. Lalu saya teruskan di PMI Jalan Kramat Raya, Jakarta hingga saya memperoleh penghargaan untuk donor yang ke 25 kali.

Sesuatu terjadi, saya sedang sangat tidak fit. Tapi karena sudah jatuh waktunya, saya paksakan untuk donor. Ternyata saat itulah vonis datang, saya dinyatakan tak boleh lagi mendonorkan darah.

Beberapa tahun kemudian, saya kembali mencoba peruntungan tapi gagal karena data saya masih lengkap di PMI. Ditambah, saya pernah kena malaria. Saya sudah putus harapan.

Alhamdulillah, donor di Perth kali ini semua lancar. Saya dianggap layak untuk mendonorkan darah. Tapi tentu saja masih harus menunggu hasil laboratorium apakah selanjutnya boleh atau perlu treatment tertentu atau apalah. Semoga sehat walafiat terus. Karena salah satu motivasi saya untuk mendonorkan darah, setidaknya saya memiliki jadual kontrol kesehatan secara teratur tiga bulan sekali secara gratis.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.