Skip to main content

Indonesia-Malaysia, Jangan Perang, Ya...

Tidak ada hal yang mengenakkan bagi kedua belah pihak jika perang antara Indonesia dan Malaysia harus kejadian. Perang hanya akan menguntungkan media (yang menganggap berita buruk adalah berita baik), penjual senjata, dan departemen yang membeli senjata karena biasanya mereka akan melakukan mark-up untuk mendapatkan selisih harga yang tinggi serta komisi dari pihak penjual. Tentunya juga makelarnya.

Stop berantem. Termasuk pihak-pihak yang secara sadar telah menggelontorkan umpatan dan makian. Bukan saja dari pihak Indonesia, tapi juga dari pihak Malaysia. Apalagi para pejabat, pesohor, dan politkus yang sesumber untuk segera mengambil inisiatif mendeklarasikan perang.

Orang Indonesia yang teriak perang, pasti tidak pernah memikirkan jika dirinya yang akan dikirim ke medan peperangan, mengangkat senjata untuk membunuh orang-orang Malaysia di seberang sana. Kalian pasti mengandalkan prajurit berpangkat rendah yang nyawanya belum seberharga para jenderal karena para jenderal tentunya akan lebih sibuk memungut komisi dari hasil pembelian senjata.

Orang Indonesia yang teriak perang, pasti tidak tinggal di sepanjang pantai utara pulau Sumatra, wilayah yang mungkin akan terkena serangan mortir dan bom pertama kali.

Orang Indonesia yang teriak perang, pasti sedang membayangkan bahwa perang dengan Malaysia itu seperti menonton pertandingan piala dunia sepak bola. Jadi setiap kali ada granat meledak di wilayah Malaysia dan disiarkan langsung oleh televisi, kalian akan tepuk tangan dan teriak "horeee... horeee!" Bisa jadi yang suka judi akan taruhan berapa jumlah manusia yang mati di kedua belah pihak akibat terkena peluru.

Selama ini, kalian menyuarakan solidaritas atas nama persamaan agama ketika warga Palestina dijajah Israel atau warga Iraq yang dibantai pasukan Amerika. Apakah kalian harus menunggu Malaysia di serang bangsa non-Islam dulu baru kalian bersimpati?

Uang negara, dari pada untuk perang, mending untuk memperbaiki jalan, menambah ruang penjara agar cukup kamar untuk kriminal kerah putih atau untuk membangun menara gantung untuk para koruptor yang justeru merekalah musuh utama kita.

Lagian, jika pun perang, kita sudah akan kalah terlebih dahulu karena jauh-jauh hari Malaysia sudah menyiapkan para teroris berkualitas. Hebatnya, para teroris yang direkrut adalah bangsa kita sendiri. Nah, siapa musuh kita sebenarnya?

Memang, kita pernah kehilangan sejumlah pulau. Itu karena kita lalai tidak merawatnya. Kita tidak pernah bersyukur dengan apa yang kita miliki, tidak pernah kita jaga, tidak pernah ktia rawat. Setelah diambil Malaysia, baru ribut. Entah jika ada pulau lain yang kemdian diambil Phillipinnes, Tahiland, atau Brunei. Apakah kalian akan bersikap sama?

Memang, tari pendet pernah 'seolah' dibajak mereka. Kalian beringas karena tidak mengerti duduk persoalannya. Sama halnya kita tidak akan pernah mengklaim gedung Petronas ada di Jakarta kalau bukan orang bodoh yang melakukannya. Lagi pula, kekeliruan itu bukan dilakukan oleh Malaysia sebagai bangsa, lebih karena individu pembuat kampanye promosi.

Memang, sejumlah lagu, sejumlah manuskrip, sejumlah karya seni lokal kita pernah dianggap milik mereka. Itu karena kita sendiri tidak pernah menganggap milik kita berharga. Lihat, mana ada acara kesenian lokal yang dianggap layak tampil di media kaca kita kecuali sinetron gaya Bollywood?

Sudahlah. Jika ada polisi air kita ditangkap oleh pihak Malaysia, biar diplomator saja yang menyelesaikan. Belum tentu petugas kita benar ceritanya. Jangan membabi buta percaya begitu saja. Kalian pasti tidak tahu, bahwa banyak nelayan asing dengan kapal-kapal berteknologi tinggi sudah sejak lama dan tak pernah berhenti masuk ke perairan Indonesia untuk menjaring ikan. Selama ini tak pernah jadi berita karena petugas penjaga perairan tak pernah benar-benar mengusir karena suap tak hanya terjadi di gedung DPR/MPR dan Mabes Polri, tapi juga di tengah samudera.

Jangan memperkeruh suasana. Jangan buang waktu, jangan buang tenaga. Belajar dan bekerja, itu tugas utama kita. Jika ada orang Indonesia yang bersusah payah berdemo di jalanan, itu karena mereka pengangguran yang tak punya pekerjaan. Abaikan. Kalian yang berstatus pelajar, belajar saja. Kalian yang berstatus karyawan, bekerja saja.

Buat media, janganlah memberitakan hal-hal yang dapat menyulut permusuhan. Kabar baik buat kalian, kabar buruk bagi bangsa ini.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.