Skip to main content

The Road - The Book of Ely




Secara hampir bersamaan saya menonton dua film yang themanya sama: bumi di masa depan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Pertama, 'the Book of Ely'. Alam tandus karena peperangan. Manusia hampir musnah. Jika pun ada, mereka menjadi sangat tidak berkeprimanusiaan, bahkan ada kelompok kanibal yang karena tidak ada sumber makanan lain maka daging manusia pun dimakan dengan terlebih dahulu dibunuh.

Ada satu orang baik yang sakti yang berjalan dari timur ke barat, untuk menyelamatkan satu buah buku yang diayakininya akan menyelamatkan manusia dan bumi. Buku itu adalah bible yang selama perjalanan menuju tempat tujuan, pria ini diburu oleh seorang penguasa dengan gerombolannya. Penguasa ini sangat haus buku bacaan karena dia percaya, buku-buku yang bermutu yang bisa membuat seseorang beda dengan manusia lainnya, menjadikan pembacanya bisa lebih berkuasa dari yang lain.


Film kedua berjudul 'the Road'. Tentang bumi yang kehilangan sumber makanan, membuat orang-orang harus bertahan hidup dengan cara apa pun. Tentang seorang pria dengan anak lelakinya, yang berjuang menuju selatan berharap mendapat sumber kehidupan yang dapat menyelamatkan. Di film kedua ini, bumi tidak digambarkan setandus pada film pertama. Tapi kondisi manusia-manusia yang masih bertahan hidup sama. Mereka menghalalkan segala cara untuk bisa tetap hidup, tetap berkuasa.

Pada film pertama, ada dua pesan moral yang bisa dipetik: pesan pertama, ilmu pengetahuan sangat penting untuk membuat kita bisa tetap bertahan dalam kondisi sesulit apapun. Pesan kedua, dunia beserta isinya akan hancur dan hanya bible yang bisa menyelamatkan. Saya yakin, Front pembela Islam tidak menonton film ini sehingga film ini bisa diputar bebas di bioskop Indonesia.

Pada film kedua, tidak ada yang bisa saya pelajari kecuali pengorbanan seorang ayah untuk membuat anaknya tetap selamat. Termasuk bagaimana dia harus membiarkan istrinya pergi karena tidak sabar bertahan dalam kondisi hidup yang serba sulit.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.