Skip to main content

Saya Sempat Dilarang Pinjam Buku dari Seluruh Perpustakaan di Australia


Syukurlah, akhirnya kasus saya dengan perpustakaan Murdoch University berakhir begitu saya menyerahkan laporan kehilangan dari kantor polisi meskipun si supervisor perpustakaan rada ragu menerimanya karena tampak beda dari dokumen laporan yang dikeluarkan oleh kantor polisi lain. Iya, beda. Yeah, mungkin saja tiap kantor polisi di Perth memang punya format yang tak sama.

Kisah dimulai ketika saya meminjam sejumlah buku di kampus Murdoch. Meskipun masa pinjam masih lama, tapi saya diingatkan untuk mengembalikan buku segera. Ketika saya minta perpanjang lewat email, tidak bisa, katanya saya harus mengembalikan dulu. Saya ikuti, semua buku saya kembalikan. Bahkan saya sempat ke layar monitor petugas yang melayani saya saat itu. Tak ada buku satu pun yang tertinggal.

Karena saya masih perlu beberapa buku dari yang saya kembalikan, saya pinjam lagi dan diperbolehkan. Menjelang keberangkatan saya ke tanah air bulan Juni lalu, saya kembalikan semua buku. Saya tanya, apakah ada buku yang belum saya kembalikan? Ketika monitor dilihat, ternyata ada buku yang seolah masih saya pegang. Padahal buku itu sudah saya kembalikan dan tak saya pinjam lagi. Petugas itu lalu meminta saya untuk mengecek ke rak koleksi perpustakaan. Benar, tidak ada.

Lalu saya diminta mengisi formulir. Saya berjanji untuk mencari ulang barangkali memang tertinggal di rumah atau di ruang kerja atau saya salah antar ke kampus ECU. Pengecekan saya lakukan segera dan tak ada hasil. Karena saat itu saya harus ke tanah air, untuk sementara kasus ditunda.

Selama saya di tanah air, sejumlah email dari Murdoch saya terima. Saya bernegoisasi untuk mengurusnya setelah saya kembali ke Perth. Begitu ada waktu setelah saya kembali, saya bertemu dengan supervisor. Ada dua pilihan yang bisa saya ambil: bayar denda $44 atau lapor ke polisi. Saya belum mau melakukan keduanya karena saya merasa sudah mengembalikan semuanya. Sampai akhirnya, saya mendapati diri saya dilarang meminjam buku dari seluruh perpustakaan di Australia! Maklumlah, semua perpustakaan di Australia memang saling terkoneksi online.

Well, saatnya mengalah. Saya datangi kantor polisi, sepuluh menit selesai! Datangi ke Murdoch, sepuluh menit selesai! Sekarang, alhamdulillah kembali normal.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.