Skip to main content

Shutter Island



Seseorang hilang, pada sebuah pulau yang sangat terjaga dan terisolir. Bagaimana mungkin bisa lolos jika tidak ada konspirasi untuk menutupi kejadian tersebut oleh seluruh penghuni pulau? Shutter island, bukan sembarang pulau. Ini adalah 'penjara', tempat pemulihan orang-orang yang pernah melakukan kejahatan namun divonis memiliki kelainan jiwa oleh pengadilan. Kenyataan dan halusinasi menjadi tipis sekali batasnya.

Tentang sebuah institusi yang bertugas melakukan koreksi terhadap para pasien dengan gangguan jiwa akut yang terguncang karena perbuatan jahat yang mereka lakukan di masa lalu. Misalnya, tentang Tedy, tokoh yang perankan oleh Leonardo Dicaprio. Dia menembak mati istrinya, karena istrinya telah menenggelamkan ketiga anaknya. Antara cinta dan ketidakmengertian mengapa istrinya tega melakukan semua itu hingga akhirnya menimbulkan konflik batin yang luar biasa hebat. Maka dua tahun lamanya ia jalani dalam sebuah kepura-puraan yang diatur oleh bawah sadarnya, tentang seseorang yang dia anggap hilang yang patut dicari tahu kemana perginya. Padahal yang ia cari sesungguhnya adalah keikhlasan untuk menerima peristiwa sadis yang menimpa orang-orang yang ia cintai.

Menonton film ini, saya tutup dengan sebuah pemahaman tentang pentingnya menyadari dan mengakui tentang realitas hidup yang dihadapi. Jujur pada kenyataan tentang diri saya sebenarnya. Salah, akui salah. Tidak perlu berpura-pura-pura apalagi membuat kebohongan seolah itu yang benar. Karena semesta hanya mengakui dan menerima kita yang apa adanya, yang aseli sejatinya.

Ya, saya bodoh. Ya, saya miskin. Ya, saya gendut. Ya, saya pesek. Ya, saya tidak menarik. Ya, saya egois. Ya, saya menyebalkan. Ya, saya bau.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.