Skip to main content

Jadi Loper Buku Telpon

Akhirnya punya juga pengalaman bekerja sebagai pengantar buku telpon. Saya betul-betul lupa apa pernah mengirim lamaran ke distributor whitepages, tahu-tahu ada seseorang menelpon apakah saya masih berminat. Saya langsung setuju, seminggu kemudian saya datangi kantornya. Hari itu juga saya tanda tangan kontrak dan boleh langsung bekerja.

Bisa dibayangkan, buku telpon tebalnya seperti apa, menyesaki bagasi dan jok belakang mobil saya. Padahal mobil yang saya miliki ini keluaran tahun 1992 dan ukurannya kecil. Sepanjang jalan, bunyi ngik-ngik yang berasal dari arah belakang bawah membuat saya was-was. Saya harus mengendarai secara perlahan agar aman dalam perjalanan.

Sekitar 120 buah buku berhasil saya distribusikan ke rumah-rumah setiap hari. Harus di teras atau samping pintu masuk, jangan di bagian luar, jangan di mail box, dll. Begitulah sebagian aturan pengiriman buku telpon ini. Fisik harus beneran kuat karena angkat barang, jalan kaki, dan suhu yang sangat aneh. Panas, tapi dingin. Ini bukan pekerjaan permanen, hanya berdasarkan kontrak yang jangka waktunya pendek. Namun, belum-belum si supervisor sudah menawari saya proyek yang lain.

Yeah, bukan pekerjaan ringan meskipun tak bisa dibilang berat juga. Bukan pekerjaan yang saya idamkan juga, kecuali karena saya ingin menjalaninya semata karena ingin belajar menerima dengan ikhlas dan gembira sekecil apapun rezeki yang saya dapat dan setidakmenyenangkan apa pun hal yang saya jalani tanpa harus memaksakan diri. Insyaallah, ganti waktu saya akan mendapatkan hal lain yang lebih, lebih, lebih.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.