Skip to main content

Rumah Kelima, Dimanakah?


Saya harus membuat keputusan: terus tinggal di flat sekarang dengan sewa mahal dan jarak ke kampus jauh atau pindah cari kos dekat kampus dengan harga lebih murah?

Landlord saya minta saya segera berkemas jika memang saya mau pindah, supaya ketika dia menawarkan flat ke orang lain, flat sudah kosong, bersih, dan siap huni. Dia tidak keberatan saya keluar jika saya memang mau. Tapi karena saya masih di bawah kontrak, sewa harus terus dibayar sampai benar-benar ada orang baru yang masuk. Maju kena mundur kena. Saya harus bayar dua tempat sekaligus? Berdoa saja semoga orang baru segera datang dan pindah.

Saya akan menempati tempat baru sebagai rumah kelima, setelah rumah di Yokine, Maylands, Innaloo, dan Victoria Park. Tapi hingga saat ini pun saya belum pasti mau pindah kemana karena beberapa rumah yang sudah saya cari belakangan ini belum satu pun ada yang pas. Ada yang terlalu jauh, ada anjing, unfurnished atau baru siap huni beberapa minggu ke depan.

Tapi saya tidak mau takut berlebihan selama saya masih punya work station. Untuk sementara mungkin saya bisa taruh semua barang di sana dan mungkin tidur di sana juga. Hap, saya harus putuskan! Segera!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.