Saya menemukan sebuah arsip online lama yang diposkan tanggal 17 April 2008 di Infosyiah.com tentang presiden Iran, Ahmadinejad yang menikahkan anaknya dengan cara yang sangat sederhana.
Puluhan komentar dari pembaca muncul, penuh dengan puja-puji tentang kesederhanaan sang presiden. Tiba-tiba ada satu komentar yang berbeda, yang agak menyimpang dari topik yang dibahas. Sang pemberi komentar malah mengusik tentang kebenaran ajaran Syi'ah. Ajaran ini memang sangat diminati di Iran. Di Indonesia, saya tidak tahu pasti bagaimana kekuatannya, yang pasti tidak sebesar Muhammadiyah atau NU.
Saya tidak pernah mempelajari ajaran kelompok Syi'ah. Jadi tidak tahu pasti apalagi percaya hal-hal apa saja yang benar atau mana yang dianggap keliru. Bahkan saya tidak pernah mempelajari khusus aliran-aliran lain. Saya beragama Islam, itu sudah cukup, untuk saat ini. Saya hanya percaya: "Untukmu agamamu, untukku agamaku". Bayangkan jika semua aliran mengaku yang paling benar, maka hanya keyakinanlah yang bisa memihak.
Sang komentar yang mengkritik Syi'ah, tentu saja seperti mengkritik Megawati di depan para pengikut PDIP. Entah apa tujuannya, yang pasti dia telah terjebak.
Saya teringat dengan seorang sahabat saya asal Iran. Dia meninggalkan agama Islam karena menurutnya, ajaran Islam yang disakralkan di Iran telah menjadi alat kekuasaan untuk melegalkan segala hal. Dia mengaku berasal dari kelompok minoritas di sana. Dia sangat membenci sang presiden. Sahabat saya lain yang berasal dari Iran juga, telah kehilangan saudara kandungnya karena bunuh diri akibat tertekan dengan arus politik di negaranya yang melibatkan diri.
Ahmadinejad, sang presiden, saat ini masih menunjukkan taring sebagai presiden yang paling getol membenci Amerika dan dunia, pada umumnya, sekedar untuk menunjukkan bahwa pendiriannya adalah benar. Presiden yang dicap pembangkang karena tak mau berkompromi sehingga harus menerima hukuman-hukuman dari PBB. Ternyata, hal-hal demikian sangat disuka oleh para anggota Syi'ah di Indonesia juga. Dia sederhana, namun kukuh dalam pendirian. Lalu mereka mendambakan pemimpin yang seperti itu,
Saya membayangkan memiliki pemimpin yang sederhana, tegas, dan kukuh dalam pendirian. Mungkin negara kita akan berbeda jadinya. Mungkin seperti Malaysia yang menolak bantuan IMF saat krisis moneter? Entahlah. Yang pasti, enggan juga jika harus memiliki presiden seperti yang dimiliki Iran sekarang.
Comments