Skip to main content

Tetty Kadi, Marini, Bimbo...

Suatu ketika perjalanan saya berselancar di dunia maya larut pada rekaman lagu-lagu tahun 60-an dan 70-an yang dinyanyikan sejumlah penyanyi Indonesia yang populer pada periode itu, seperti Tetty Kadi, Tanty Josepha, Anna Manthovani, Titiek Puspa, sampai Marini. Ada sensasi aneh yang menyelinap di sela perasaan. Saat itu saya belum lahir atau jika pun sudah, saya sama sekali pernah bersinggungan dengan lagu-lagu ini. Orang tua saya bukan pendengar lagu, jadi saya tak memiliki kenangan dengan lagu dewasa tertentu yang mereka suka. Kecuali ada satu dua lagu yang kadang didendangkan ibu saya seperti lagu 'Gang Kelinci' yang dinyanyikan Lilies Suryani. Itu karena si penyanyi tetangga dekat rumah, maka ibu merasa perlu mengenal lagu-lagu Lilies. Lagu lain yang sering saya dengar dari mulut ibu saya adalah lagu-lagu berbahasa Sunda "... abdi gaduh hiji bonek...".

Ada lagu-lagu yang saya minati dan masih saya ingat di ujung tahun 70-an, lagu anak-anak yang dinyanyikan Chicha, Adi, Ira Maya hingga Julius Sitanggang. Ada beberapa remaja atau dewasa yang masih terngiang seperti lagu-lagu Koes Plus dan Bimbo. Memasuki tahun 80-an, saat saya remaja, barulah ratusan lagu bisa saya kenang.

Hal lain yang saya temukan ternyata bukan sekedar lagu, tapi mendapati kenyataan bahwa yang memasang lagu-lagu itu di Youtube adalah orang-orang Malaysia. Ditambah lagi dengan komentar-komentar mereka yang banyak bernostalgia, mengenang apa yang terjadi dengan mereka pada saat itu. Mereka yang sekarang mungkin sudah sepuh.

Popularitas penyanyi Indonesia di negeri tetangga seperti Malaysia, sepertinya memang sudah bermula sejak tahun 60-an itu. Hal lain yang menandai sejarah hubungan kedua negara.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.