Skip to main content

Cerita dari Perpustakaan SD

Terbangun sekitar jam 3 pagi. Tiba-tiba teringat beberapa peristiwa ketika saya masih di SD, antri untuk menyewa buku cerita.

Buku perpusatakaan koleksi sekolah tidaklah banyak, hanya satu lemari saja. Kami tidak memiliki ruang perpustakaan khusus. Perpustakaan ini dikelola oleh seorang guru yang mengajar di kelas satu. Saya lupa mulai kapan saya punya kebiasaan meminjam buku. Itu saya lakukan hampir setiap hari. Padahal tidak gratis. Masa peminjaman satu minggu untuk satu judul buku. Jadi jika saya pinjam dua, saya boleh mengembalikan dua minggu berikutnya.

Daftar buku ditulis panjang pada satu karton berwarna krem (atau putih) yang dibungkus plastik. Murid tinggal menulis nomor buku yang akan disewa pada secarik kertas kecil dan menyerahkan pada pak guru. Hampir semua buku terbitan dari Balai Pustaka. Buku-buku bersampul plastik ditata rapi dalam sebuah lemari kaca. Seringkali saya memilih buku bukan karena judulnya, tapi karena alasan tebalnya. Semakin tebal semakin saya cari karena saya percaya ceritanya lebih panjang dan menarik. Di sana tak ada komik.

Guru ini yang saya ingat, sangat galak. Dia akan membentak kami jika berisik saat bergerombol menunggu beliau selesai mengajar. Setiap kali dibentak, kami diam. Tapi akan ribut lagi beberapa detik kemudian. Namun begitu, beliau sangat baik. Hingga saya kuliah, tiap kali berpapasan, kami selalu bertegur sapa. Sebelumnya, karena lama tak bertemu, ketika beliau ada berkunjung ke seorang tetangga rumah, saya kira beliau sudah tak kenal. Makanya saya biarkan. Eh, malah beliau yang menegur dan bertanya tentang keadaan Bapak, apakah Bapak masih bekerja di tempat yang sama (sambil menyebutkan nama perusahaan tempat Bapak bekerja). Malunya. Kelak, setiap kali saya bertemu mantan guru, siapa pun, saya akan selalu menegur sambil memperkenalkan diri jaga-jaga mereka lupa.

Saya sangat gemar membaca, rajin pula meminjam. Satu buku bisa habis dalam satu hari. Saya baca kapan pun, dimana pun. Bahkan kadang, belum tiba di rumah saja buku sudah habis saya baca jika kebetulan tipis. Saya berjalan pulang dari sekolah sambil membaca. Bayangkan. Tiba di rumah, setelah meminum satu gelas kopi susu yang saya seduh sendiri, lalu menghabiskan makan siang, selanjutnya saya akan langsung melahap buku kedua. Entah di teras, di ruang tamu, di atas pohon jambu samping rumah atau pergi ke sawah, sambil tiduran di saung, di atas pohon atau di pematang di bawah pohon salam. Dimana pun yang nyaman.

Jika buku sudah habis saya baca, besoknya, saya akan antri untuk meminjam buku-buku cerita berikutnya. Well, bukan mengantri sebetulnya. Tapi berjubel.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.