Skip to main content

Dari Tarot hingga Zodiak

Dengan kartu tarot dan remi sudah saya jajal. Sekarang saya lagi mencoba-coba meramal orang dengan membaca energi dari tangannya: telapak, jari-jari, kepalan, dan segala lekuk yang mereka buat. Beberapa pola kejadian bisa saya ungkap. Sisanya, kadang membingungkan.

Lalu dilema datang. Perlukah 'kemampuan' saya melamar terus dipelihara? Saya takut dengan ancaman Tuhan jika saya tak bergeming. Namun di satu sisi, saya ingin menolong orang-orang. Eit, menolong atau mencari kesenangan? Yeah, kadang keduanya. Tapi yang jelas, untuk mencari keuntungan materi saya rasa tidak.

Saya bisa pastikan, semakin getol bersembahyang malam dan berdoa, semakin peka perasaan saya untuk bisa menerka apa yang akan terjadi atau untuk membaca masa lalu seseorang. Saya bukannya berdoa agar kemampuan ini semakin terasah, berdoa yang lain-lah. Seperti signifikan.

Agar bisa berdamai dengan hati dan perasaan, tanpa ingin melanggar ancaman Tuhan, saya berusaha untuk membatasi hanya 'membaca' pola masa lalu dan sekarang. Karena yang dilarang kan meramal masa depan. Pola hidup seseorang, biasanya ajeg dari dulu hingga nanti. Nah, pola itulah yang dijadikan wacana untuk dijadikan panduan meramal masa depan. Semoga saya tak keliru.

Pagi ini saat saya membaca artikel-artikel dari Kompas.com, tanpa sengaja saya melihat horoskop mingguan. Karena saya tak biasa meramal diri sendiri, saya mencoba mengintip ramalan bintang saya, aquarius. Katanya:

"Anda akan jatuh cinta pada org yang tidak tepat, dia telah mempunyai pasangan yang telah lama ia jalin. Jangan menjadi orang ketiga di tengah kebahagiaan orang lain. Keberhasilan Anda pada hari ini dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi merupakan tonggak awal karir. Sebaiknya selalu belajar dari pengalaman yang ada. Anda sering pusing bila melakukan kegiatan yang berat-berat, kemungkinan Anda mengalami kekurangan darah. Sebaiknya segera konsultasikan ke dokter."

Well, saya belum memutuskan seberapa akurat ramalan di atas. Sering bingung, bagaimana orang-orang yang mengasuh rubrik ini bisa meramal berdasarkan zodiak? Ini kan bukan meramal individual, tapi jutaan orang di dunia dengan zodiak yang sama. Ilmu saya belum sampai, jangankan untuk melakukan ramalan, untuk mengertinya saja sulit. It's not big deal, gak harus dipikirkan serius.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.