Skip to main content

Dimana-mana Ada Orang India

Sebuah nada sinis atau mungkin cemburu, terlontar dari seorang pembaca artikel dari ABC online yang berjudul "Survey picks ACT, WA as standout economies", 25/10/10. Dituliskan bahwa ACT atau Canberra dan Western Australia adalah dua negara bagian di Australia yang paling makmur. Kata pemberi komentar itu: "Australia used to be a great country, but with so much regulations, taxes, over amount of overseas students, expecially from india, our children won't get a job or buy house. Melbourne is becoming a second city of India. Everywhere I go there's indians. Not many Aussies working like they used to."

Saya memang tak meragukan komentator itu. Saya merasa orang India memang ada di mana saja, bukan saja di Melbourne, tapi juga di Perth. Tidak saja di Australia, tapi juga di Singapura, Malaysia, dan Inggris.

Di Australia, saya bertemu orang-orang India di rumah kos, di ruang kerja, tetangga, di stasiun, shelter bis, dalam bis, dalam kereta, di toko-toko dan restoran... Ketika saya ke Inggris, saya bertemu mereka di kamar saya, di bis, di setiap antrian... Tentu saja saya tidak punya alasan untuk sinis dan cemburu. Cuma sekedar mendapatkan kesan bahwa India tersebar dimana-mana. Di hampir semua kesempatan dan keadaan. Mematahkan pernyataan orang selama ini yang katanya orang Cina dimana-mana.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.