Skip to main content

Indomie: Agenda Siapa?

Indofood sedang berduka, salah satu produk jagoan mereka yang bernama Indomie sedang kena masalah di Taiwan. Dampaknya, ternyata merembet ke Hong Kong dan Singapura. Jika akhirnya mie instan itu tak ada lagi di pasaran, yang repot pastilah konsumen yang sudah terbiasa mengkonsuminya.

Menurut sejumlah artikel online yang saya baca, mayoritas pembeli Indomie di Taiwan adalah para pekerja Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti jika mereka akan kehilangan Indomie:

1. Rasa. Jika sudah terbiasa dengan rasa Indomie, mungkin akan sulit berpindah ke mie merek lain. Apalagi, seperti di Australia misalnya, tak ada mie instan merek lain kecuali Indomie. Mie merek lain memang ada seperti buatan China dan Jepang, misalnya. Tapi rasanya sangat aneh di lidah orang kita.
2. Halal. Indomie sudah jelas halal. Sementara mie instan buatan negara lain tidak jelas.
3. Pengobat kangen dengan tanah air. Merantau di negeri orang untuk kurun waktu tertentu, sering kali bikin rindu negeri sendiri. Salah satu cara untuk menekan perasaan itu dengan mengkonsumsi produk-produk impor asal Indonesia.
4. Nasionalisme. Agak cengeng memang, tapi bisa jadi alasan kuat bahwa dengan mengkonsumsi produk tanah air, serasa telah memberikan dukungan bagi produk negeri sendiri.

Jadi, hilangnya Indomie di pasar Taiwan tidak saja merugikan Indofood selaku produsen dan negara yang kehilangan pajak ekspor, tapi juga konsumennya.

Muncul dugaan adanya razia mie instan asal Indonesia itu karena persaingan bisinis karena para pemain lokal merasa tersaingi dan pemerintah setempat merasa punya kepentingan untuk melindungi produk dalam negeri. Bisa saja dan itu sangat bagus buat mereka. Kadang kita juga perlu melakukan proteksi demikian terhadap produk-produk dalam negeri dari serangan produk luar negeri. Tapi pemerintah kita terlalu permisif.

Satu hal yang perlu dipikirkan, bahwa persaingan bisnis mungkin terjadi, tapi bukan pesaing dari Taiwan, melainkan dari dalam negeri sendiri. Misalnya, karena Mie Sedap mau masuk pasar Taiwan. Jika iya, sungguh strategi yang brilyan dari tim gerilyawan mereka.

Menyebar issue tak sedap tentang suatu merek tertentu dalam bisnis tentu saja diperbolehkan, asal benar faktanya. Saya jadi teringat ketika Mizone diissuekan mengandung zat tertentu yang sangat berbahaya bagi kesehatan sehingga harus ditarik dari peredaran. Siapa yang menyebarkan issue tersebut? Coba saja hubungkan dengan persaingan bisnis minuman sejenis saat itu. Yang pasti, begitu issue itu berkibar, tim gerilyawan Vitazone bertepuk tangan.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.