Skip to main content

Kisah Ag

Sekali lagi, media Indonesia sudah bertindak tidak proporsional dalam pemberitaan yang menyangkut kasus mantan finalis Idola Idol dengan perempuan berinisial Ag. Pembunuhan karakter, pemberitaan yang sepihak, dan asumsi-asumsi diumbar hingga seolah semua tergiring dengan sukses olah hasutan pengacara dan orang-orang dekat pelaku. Intinya, Ag terhakimi sebelum ia sendiri bertemu hakim yang sesungguhnya. Masyarakat sudah mencap dia sebagai perempuan tidak baik, pembual, dan pencari sensasi.

Sepertinya Undang-undang Pers harus ditegakkan dengan lebih baik lagi. Wartawan-wartawan infotainment perlu ditatar lagi dan para editor harus mengikuti fit and proper test.

Katakan, jika benar korban mau diajak bermalam di sebuah hotel. Lalu dia tak keberatan untuk bermesaraan. Namun begitu si korban bilang 'hentikan' karena dia berubah pikiran, seharusnya kejadian itu tak perlu berlanjut. Harus ada respect di sana.

Saya setuju jika korban untuk sementara sembunyi hingga kasus ini masuk pengadilan. Saya mendukung agar dia tetap tutup mulut. Bukanlah waktu yang baik untuk melakukan perang penciptaan persepsi saat ini. Media terlalu arogan untuk bisa berkompromi. Media sejujurnya hanya akan memihak pada pelaku-pelaku yang mau banyak bicara karena bagi wartawan itu berarti mata pencaharian. Meskipun mereka penjahat, bagi media adalah pahlawan.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.