Skip to main content

Mimpi Menembus Langit

Source: bikeholidays.eu
Sehabis sholat subuh, saya tidur lagi. Begitu terbangun sekitar jam 2.30am, saya sengaja tidak tidur dulu, menunggu waktu shubuh. Setelah shubuh, baru saya tidur. Ingin bangun siang, bermalasan di hari Minggu ini. Suhu kamar lumayan dingin. Saya lupa memasang pemanas ruang tadi malam.

Bermimpi. Tiba-tiba badan saya membumbung ke awang-awang, cepat dan makin cepat, tinggi dan makin tinggi. Kaget, berdebar, namun sangat sadar sehingga saya tak henti berdoa. Saya melihat ke bawah, tampak kepulauan Indonesia bersinar keemasan. Saya begitu pasrah sehingga tak ada sedikit pun ketakutan. Saya bahkan sempat sesumbar. "Ya Allah, apapun yang terjadi dengan diriku, aku serahkan segalanya pada-Mu..."

Setelah sangat tinggi mengangkasa, gerakan badan saya berubah. Bergeser ke arah kiri. Saya merasakan angin berhembus kencang. Bukan saya yang mengendalikan. Tapi sesuatu yang gaib dan entah apa. Di atas saya bidang hitam sangat luas dengan taburan banyak bintang berkelip. Ketika menoleh ke arah bawah, saya melihat hamparan kota dengan bangunan-bangunan berasitekstur khas Eropa Timur.

Badan saya masih terbujur kaku, namun terus terdorong jauh. Hanya kepala yang bisa bergerak. Pada suatu pasar malam, saya diturunkan di sebuah ketinggian wahana panggung boneka. Sepi. Mungkin karena sudah sangat larut. Tampak dua orang dewasa, berpasangan, menunjuk ke arah wahana. Mereka mendaki ke tempat saya berdiri...

Terbangun. Ah, petualangan yang sangat mendebarkan meskipun hanya dalam mimpi.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.