Skip to main content

Misionaris Tele-Marketing

Misionaris di Australia, sudah seperti pedagang asongan. Menawar-nawarkan program di jalanan kepada siapa saja yang menurut mereka pantas untuk didekati. Setelah itu, mereka akan meminta nomor telepon kita. Selanjutnya, mereka berubah fungsi menjadi seperti tele-marketing. Terus menelpon kita sampai kita bilang ya atau mungkin tidak.

Saya sedang menikmati camilan sambil mendengarkan kumpulan lagu top 50 Billboard di depan State Library ketika seorang pria muda menghampiri dan meminta waktu saya untuk berbincang. Pria itu memperkenalkan diri sebagai seorang misionaris dari sebuah aliran kristiani. Saya dengan senang hati menyetujui. Tidak ada salahnya, saya pikir, mendapat teman bicara dan mendapat sebuah 'pengetahuan'.

Setelah lama bicara, obrolan tentang agama bergeser ke hal-hal ringan seputar kehidupan sehari-hari. Malah dia membiarkan saya bertanya-tanya tentang dirinya.

Bertemu dengan misionaris seperti dia bukanlah hal pertama kali. Tapi bicara panjang lebar seperti itu memang yang pertama di Perth. Ketika saya tinggal di Jakarta, pernah dua orang perempuan mengetok pintu rumah dan bercerita tentang sebuah 'kabar penting', yang menurut mereka Yesus tak pernah disalibkan.

Agama bukanlah perkara mudah. Saya dulu pernah 'tersesat' tapi tak berarti juga menginginkan agama baru. Jika saya terbuka dengan orang-orang yang ingin mewartakan tentang ajaran-ajaran mereka, bukanlah hal yang istimewa. Pertama, menolak sesuatu berarti menolak kebaikan. Itu yang selalu saya ingat. Apalagi menolak ilmu pengetahuan. Selama saya tidak memaksakan diri dengan mengorbankan hal-hal lain yang lebih penting dari itu, saya rasa saya akan terus melakukan. Saya percaya diri untuk tidak mengubah keyakinan yang saya anut sekarang.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.