Tinggal di Australia, jika sekedar kuliah rasanya kurang pas. Apalagi uang beasiswa yang kita terima hanya bisa untuk hidup pas-pasan. Sebagian mahasiswa menganggap tinggal di luar negeri adalah kesempatan untuk bekerja, mengumpulkan uang. Saya yang tadinya idealis akhirnya setuju juga. Maka saya harus bergerak lebih agresif untuk mencari peluang kerja.
Suatu ketika saya mengirim banyak lamaran kerja. Untungnya sebagian besar dari bisa saya lakukan lewat internet. Murah, mudah, dan cepat. Ada untuk jadi cleaner, resepsionis, pengantar buku telpon, pemetik buah, koordinator event, crew restoran, hingga tukang kebun. Pekerjaan apa saja yang lamar.
Ada yang menanggapi, ada juga yang mengabaikan. Beberapa yang menanggapi, misalnya, sebuah restoran ayam yang mau buka cabang baru. Saya dipanggil untuk sebuah wawancara. Optimis saja, namanya juga diundang datang. Begitu tiba di kantor mereka, saya agak heran karena kebanyakan yang datang anak-anak SMP dengan diantar ibu mereka. Pewawancara bilang, dua hari lagi akan ada pengumuman siapa saja yang lolos. Begitu tiba harinya, saya mendapat kabar kalau saya tidak diterima. Gugur harapan.
Tak lama kemudian, sebuah perusahaan pembersih gedung dan rumah membalas lamaran yang saya kirim. Mereka dalam emailnya menulis akan mengundang saya untuk wawancara akhir minggu itu. Tunggu punya tunggu, meskipun sudah saya hubungi balik, ternyata tidak ada kabar juga. Gugur lagi harapan.
Distributor buku telepon menelpon. Mereka menawari saya pekerjaan dengan sejumlah syarat, misalnya, saya harus punya mobil dan SIM yang berlaku di Australia. Alhamdulillah. Saya mulai dengan pengalaman pertama saya bekerja. Setelah dua kawasan di dua sub-urban sudah saya garap, meskipun saya masih diharapkan untuk terus bekerja, saya putuskan untuk berhenti karena saya mendapatkan pekerjaan baru lainnya.
Sebuah perusahaan market riset yang bermarkas di Sydney menghubungi saya. Mereka mengundang saya untuk mengikuti wawancara dan briefing online. Nyaris gagal karena sebagai mahasiswa, saya memiliki keterbatasan jam kerja. Tapi inikan semester break, peraturan jam kerja konon tidak berlaku.
Lalu saya dihadapkan pada sebuah tes yang lumayan berat. Saya harus turun ke sebuah komplek perumahan, door to door mewawancara orang yang tak saya kenal untuk mendapatkan sejumlah data yang diperlukan. Sempat terancam gagal karena cara yang saya lakukan keliru. Tapi syukurlah saya diberi kesempatan kedua. Lolos. Alhamdulillah.
Baru saja yang mengikuti training. Selanjutnya, tinggal langsung bekerja. Saya harus menghipnotis diri sendiri bahwa saya bisa dan suka. Pasti akan melelahkan, digonggong anjing, dan ditolak. Sebodo amat. Yang penting bekerja.
Suatu ketika saya mengirim banyak lamaran kerja. Untungnya sebagian besar dari bisa saya lakukan lewat internet. Murah, mudah, dan cepat. Ada untuk jadi cleaner, resepsionis, pengantar buku telpon, pemetik buah, koordinator event, crew restoran, hingga tukang kebun. Pekerjaan apa saja yang lamar.
Ada yang menanggapi, ada juga yang mengabaikan. Beberapa yang menanggapi, misalnya, sebuah restoran ayam yang mau buka cabang baru. Saya dipanggil untuk sebuah wawancara. Optimis saja, namanya juga diundang datang. Begitu tiba di kantor mereka, saya agak heran karena kebanyakan yang datang anak-anak SMP dengan diantar ibu mereka. Pewawancara bilang, dua hari lagi akan ada pengumuman siapa saja yang lolos. Begitu tiba harinya, saya mendapat kabar kalau saya tidak diterima. Gugur harapan.
Tak lama kemudian, sebuah perusahaan pembersih gedung dan rumah membalas lamaran yang saya kirim. Mereka dalam emailnya menulis akan mengundang saya untuk wawancara akhir minggu itu. Tunggu punya tunggu, meskipun sudah saya hubungi balik, ternyata tidak ada kabar juga. Gugur lagi harapan.
Distributor buku telepon menelpon. Mereka menawari saya pekerjaan dengan sejumlah syarat, misalnya, saya harus punya mobil dan SIM yang berlaku di Australia. Alhamdulillah. Saya mulai dengan pengalaman pertama saya bekerja. Setelah dua kawasan di dua sub-urban sudah saya garap, meskipun saya masih diharapkan untuk terus bekerja, saya putuskan untuk berhenti karena saya mendapatkan pekerjaan baru lainnya.
Sebuah perusahaan market riset yang bermarkas di Sydney menghubungi saya. Mereka mengundang saya untuk mengikuti wawancara dan briefing online. Nyaris gagal karena sebagai mahasiswa, saya memiliki keterbatasan jam kerja. Tapi inikan semester break, peraturan jam kerja konon tidak berlaku.
Lalu saya dihadapkan pada sebuah tes yang lumayan berat. Saya harus turun ke sebuah komplek perumahan, door to door mewawancara orang yang tak saya kenal untuk mendapatkan sejumlah data yang diperlukan. Sempat terancam gagal karena cara yang saya lakukan keliru. Tapi syukurlah saya diberi kesempatan kedua. Lolos. Alhamdulillah.
Baru saja yang mengikuti training. Selanjutnya, tinggal langsung bekerja. Saya harus menghipnotis diri sendiri bahwa saya bisa dan suka. Pasti akan melelahkan, digonggong anjing, dan ditolak. Sebodo amat. Yang penting bekerja.
Comments