Skip to main content

Protes Tera

Pendidikan sex yang baik dan benar bagi masyarakat kita memang sangat perlu agar para pelakunya dapat terhindar dari penyakit kelamin menular dan kehamilan yang tidak direncanakan, termasuk juga untuk menekan angka kejahatan sex. Namun bukan dengan mengijinkan penerbitan majalah Playboy, membiarkan pekerja asing yang berkonotasi dengan sex seperti Miyabi dan Tera Patrick.

Produser yang mengontrak Tera berujar, alasan penggunaan Tera untuk mendongkrak pasar perfilman di Indonesia yang lagi lesu. Hallo...! Lesunya perfilman dalam negeri terjadi hampir di seluruh negara di dunia, kecuali Amerika dan India. Jadi juragan film ini tak perlu bicara seolah dia menjadi penyelamat negara.

Kita harus sepakat bahwa dampak yang ditimbukan dari kedua aktifitas ini, penerbitan majalah dan pembuatan film, sangat buruk. Kehadiran mereka menjadikan kegiatan pornografi menjadi sangat kasual dan lumrah. Dan ini berbahaya. Meskipun apa yang sesungguhnya terjadi masih dalam baas kewajaran. Kita perlu sama-sama munafik, butuh diam-diam, tapi tak perlu menunjukkan perkataan dan perbuatan yang vulgar di luar dinding rumah kita.

Kita harus sadar akan ketimpangan budaya yang terjadi antara kondisi negara kita dengan keadaan di negara-negara bebas seperti Amerika. Ketimpangan itu lalu dijembatani oleh revolusi komunikasi yang bernama internet yang membuat dunia tak berbatas. Proses one world one culture tengah berjalan, perlahan namun pasti. Halal di negara bebas, bisa halal pula di tanah air. Apalagi jika pemerintah yang mestinya jadi penjaga gawang tak memiliki kepekaan terhadap hal-hal seperti ini.

Seni dan budaya kita memang tak luput dari ketelanjangan, meskipun tidak melulu berarti pornografi. Misalnya, hingga detik ini, di sejumlah bagian dari Papua masih banyak orang bertelanjang. Namun ketika di Jakarta, seorang Isabel Yahya dan Anjasmara berfoto telanjang, sebagian orang mengaitkan itu dengan pornografi. Padahal mati-matian orang-orang di balik karya itu membela diri itu sebagai seni.

Perbedaan pendapat antara seni dan keseharian, simbol sex dan kelumrahan, harus diselesaikan dengan tegas dan cepat. Bukan sekedar dengan demo dan tuntut-tuntutan di pengadilan. Tak akan menyelesaikan masalah.

Terbitkan undang-undang: larang! Dan semua harus patuh, bukan mencari celah dengan segala macam pembelaan dan menyogok petugas yang berwenang.

Jika sekarang mau protes dan memboikot pemutaran film Tera Patrick, tak ada guna. Mereka akan menyalahi hukum karena film yang dibuat sangat legal sesuai dengan aturan yang berlaku. Apalagi telah lolos sensor pula. Malah akan mempermalukan mereka sendiri karena dianggap tak tahu hukum.

Jika mereka mau protes dan memboikot, proteslah di depan rumah Zainuddin M.Z. Lho?


.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.