Skip to main content

SARA: Ketika Perbedaan Jadi Bibit Permusuhan

Gara-gara tulisan saya di sebuah milis dianggap SARA padahal menurut saya sangat tidak, saya jadi tertarik untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan orang lain yang menurut saya betul-betul SARA.

Saya lalu menemukan sebuah blog dengan alamat http://roysianipar.wordpress.com. Penuh perkataan SARA. Membaca sebagian artikel dan komentar-komentar yang ditayangkan pembaca, membuat saya terkekeh. Bisa-bisanya karena alasan membela agama, mereka berseteru meskipun hanya di dunia maya. Entah jika mereka akhirnya bertatap muka, apakah akan sampai adu jotos segala.

Satu pihak membanggakan agama tertentu, pihak lain menghinakan. Hingga kata-kata kotor terlontar begitu saja. Sangat prokovatif emang. Kalangan yang membela Islam menghujat Yesus. Padahal dalam Islam sendiri, Yesus adalah Nabi Isa. Menghina Yesus, bukankah berarti menghina nabinya sendiri?

Well, berbeda pendapat boleh saja, apalagi berbeda keyakinan. Saling membandingkan keyakinan satu dengan lainnya pun boleh saja. Tapi jika sampai saling menyebar kebencian, saya rasa janganlah. Hanya membuat energi negatif buat diri sendiri dan orang lain. Hanya akan menyebarkan permusuhan.

Biar orang beribadah dengan caranya sendiri. Bahkan jikapun mereka memutuskan untuk tidak beribadah. Mereka lupa, bahwa agama diciptakan untuk menyelamatkan, bukan merusakkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.