Skip to main content

Studi Banding, Yuuuk...

Program studi banding anggota DPR ke Yunani ternyata mengundang kerusuhan. Sweeping yang dilakukan oleh sebagian orang di tol menuju bandara benar-benar menunjukkan keputusasaan mereka terhadap ulah anggota dewan.

Mengapa mereka tidak setuju? Mengapa mereka diprotes? Apa yang salah dengan studi banding?

Studi banding, baik anggota DPR atau pegawai negeri manapun sepertinya sudah jadi rahasia umum. Ada kegiatan yang serius, ada yang mungkin memang sekedar menghabiskan anggaran dengan berkedok studi banding. Jadi heboh karena kegiatan ini diumumkan sebelum kegiatan berlangsung dengan menelan angka sangat tinggi. Konon, setiap orang mendapat jatah 28 juta rupiah per hari. Hebat banget.

Jika saya seorang pejabat publik dan punya kuasa atas sebuah komando termasuk pengeluaran uang, saya akan banyak menugaskan anak buah saya ke luar negeri. Mengapa? Supaya mereka melek dan belajar. Harus ada sesuatu yang didapat yang kemudian bisa meningkatkan kualitas mereka sebagai individu dan organisasi. Itu mutlak. Jika mereka melakukan plesiran di antara waktu tugas mereka, bolehlah. Tapi harus tetap dengan mata melek dan spirit belajar. Jangan terlena. Harus bisa mempertanggungjawabkan. Misalnya, organisasi yang saya pimpin akan mengadakan street carnival yang bertaraf internasional. Mungkin saya akan mengutus mereka ke Brazil atau ke Spanyol atau ke mana saja yang pantas untuk dijadikan tujuan belajar. Supaya ketika tim saya kembali, mereka punya acuan dan gambaran seperti apa acara yang akan digelar.

Bila kasus anggota dewan terakhir, katanya mereka mau belajar etiket, rasanya berlebihan memang. Datang rajin ke setiap meeting, tanpa berantem di ruang sidang, tidak menerima gratifikasi apalagi memeras orang yang berkasus, rasanya itu etiket standar yang paling bisa dipelajari. Nyatanya? Apalagi dengan uang saku yang menohok dada, benar-benar tidak masuk akal.

Maka, studi banding penting dan perlu. Tapi bukan orang-orang bodoh yang dikirim, bukan dengan bujet yang bikin mata pedih, bukan tanpa hasil.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.