Skip to main content

Adjab

Kita selama ini ternyata dibesarkan dengan ancaman-ancaman: Tuhan murka kepada umatnya hingga Ia meletuskan gunung, menumpahkan air laut ke daratan, memampetkan air hujan, melongsorkan bukit, menebarkan penyakit... Apakah Tuhan sepemarah itu? Saya rasa tidak.

Kita bukan harus menelan semua ayat bulat-bulat tanpa interpretasi mahadalam dan mahalebar dengan mengaitkan pada banyak unsur. Sehingga ayat-ayat kitab suci tidak dipelajari dengan kaku dan dangkal.

Saat ini, ketika banyak bencana terjadi di segala pelosok tanah air, orang-orang berlabel agamis secara kompak mengangkat hubungan antara bencana dengan tingkat moral masyarakatnya. Hal ini yang menurut saya tidak signifikan.

Mungkin tak perlu diragukan lagi jika bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling religius. Bangsa yang paling mendekatkan diri pada Sang Khalik. Lalu kenapa Tuhan masih banyak murka dengan kita?

Saya bukan mau mendebat isi kitab suci. Saya beriman dan yakin atas segala yang disebut di sana. Namun bukan berarti kita harus kehilangan akal sehat untuk dengan mudah mencederai gejala alam sebagai adjab.

Seolah teologi sedang berargumentasi dengan ilmu pengetahuan. Seakan bahwa teori sebab akibat akan memenangkan logika atas orang-orang yang malas berpikir dan malah sembunyi di balik ayat-ayat kitab suci. Sekali lagi, saya beriman dan yakin dengan isi kitab suci tapi ijinkan untuk melihat dari sisi yang berbeda.

Bahwa dalam menyelamatkan keimanan orang, para ulama juga harus belajar psikologi manusia. Jika mereka masih dengan cara-cara kuno dalam menyebarkan keyakinan, misalnya dengan menyebutkan bahwa bencana adalah adjab, saya percaya setiap saat jumlah dari setiap generasi akan terus tergerus. Bahwa kajian kitab suci tidak berhenti sejak ratusan atau ribuan tahun lalu, tapi harus terus dilakukan dengan menyesuaikan ruang dan waktu...

Maka dari pada berkata bahwa bencana itu adalah adjab, mending bilang: karena kita hidup di negeri yang banyak bencana, maka bermawas dirilah kita. Agar jika pun kita meninggal akibat salah satu dari bencana yang terjadi, insyaallah kita mati dalam keadaan beriman...

[Ya, Allah, beri hamba-Mu pengetahuan...]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.