Skip to main content

Antara Adha dan Tiadha

Mesjid Al Majid, Padbury
Jika tinggal di lingkungan mayoritas muslim, mungkin mencari masjid untuk sembahyang akan mudah. Tapi Western Australia, jangankan untuk menemukan mesjid terdekat, mencari jadual kapan sholat ied adha saja lumayan susah. 

Saya memastikan untuk sembahyang hari Selasa saja, karena Rabu saya punya jadual ketat sekali. Ada dua kabar yang saya dengar, kalau Selasa hampir semua masjid melakukan, tapi kalau Rabu hanya Konjen RI yang mengadakan.

Dengan seorang sahabat, pagi-pagi kami mengarah ke Padbury, yang menurut GPS hanya 18 menit dari Joondalup. Karena pagi itu tol arah kota sangat padat nyaris tak bergerak, saya memutuskan untuk mengambil jalur non tol mengingat saat itu sudah hampir jam 8. Saya dengar dari seorang sahabat lain, sembahyang akan mulai jam 8am. Hal yang membuat saya yakin hari itu ada jadual sembahyang ied di mesjid Padbury karena saya mendapat info dari sahabat yang satu itu.

Tersasar. Kami menemui jalan buntu, mekipun akhirnya bisa sampai. Tapi ternyata, ied tidak dilakukan hari Selasa, tapi Rabu. Gagal ikut sembahyang, gagal pula bisa mencicipi masakan lebaran khas Malaysia-an dan Arab-an. Konon, banyak orang dan Malaysia yang biasa  bersembahyang di sana.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.