Skip to main content

Perlu Tiga Kali untuk Bisa Sukses Merebus Telur

Jika tidak tahu ilmunya, bahkan merebus satu butir telur pun akan gagal. Ini pengalaman saya sejak setahun terakhir tinggal di Perth: lupa bagaimana caranya. Suatu waktu, karena ingin praktis, saya masukkan telur ke dalam microwave. Dengan mengira-ngira berapa menit telur akan matang, saya pasang indikator waktu. Sambil mengisi waktu, saya kembali belajar di kamar. Tak lama, terdengar suara ledakan yang lumayan keras. Bahkan housemate saya sampai lompat keluar kamar. Ternyata, telur meledak dengan menyisakan porak poranda yang tak elok dilihat di sekitar dapur. 

Kali kedua, beberapa bulan kemudian, di rumah yang berbeda. Kali ini saya merebus beberapa telur dalam panci, lengkap dengan air tentu. Tak pasti berapa lama, tapi yang jelas, air sudah sangat mendidih. Saya angkat, air panas dibuang dan diganti dengan air dingin, biar mudah mengupasnya. Ewww.... ternyata, kali ini pun gagal lagi. Isi telur masih encer. 

Saya lalu mencoba mengingat ke sekian puluh tahun lalu, saat dulu sering di dapur melihat Ibu masak. Ibu mengajari, jika mau merebus telur yang cuma satu atau dua butir, tinggal menimbun telur dalam nasi yang sedang dikukus, hingga terjadi retakan, baru itu dipastikan matang. Ah, sepertinya saya memang harus menunggu kulit telur retak. Percobaan ketiga, alhamdulillah berhasil.

Lama setelah itu, saya berbincang dengan seorang sahabat di kampus. Perempuan Australia ini bilang, di Curtin University, pernah ada inisiator yang mengajari sekelompok mahasiswa internasional masak menu-menu sederhana. Mereka yang ketika di tanah airnya mungkin tidak pernah memasak sama sekali, ketika merantau mau tak mau harus ke dapur tiap hari jika mau berhemat. Kegiatan itu sukses. Saya rasa, perlu juga mengadakan kegiatan itu di kampus saya.

Obrolan berpindah ke pengalaman saya merebus telur. Dia tertawa, memaklumi. Lalu dia bercerita ketika pada suatu masa, di Inggris ada seorang ibu yang membawakan acara memasak di sebuah saluran TV. Ibu itu menunjukkan cara memasak hal-hal yang ringan, misalnya merebus telur. Sehari setelah itu, terjadi permintaan telur yang melonjak drastis di seantero Inggris!




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.