Skip to main content

(Terpaksa) Bekerja, Demi Dolar

Alhamdulillah, sejak beberapa pekan lalu, saya resmi bekerja pada sebuah perusahaan riset pemasaran besar yang bermarkas di Sydney. Meskipun cuma pekerja paruh waktu, tapi lumayanlah bisa menghemat uang beasiswa yang pas-pasan dan kadang kurang itu. 

Pekerjaan saya menuntut saya terus berada di luar gedung, dari Kamis hingga Minggu, dari satu sub-urban ke sub-urban lain, dari satu pintu ke pintu lain meminta orang-orang untuk mau diwawancarai. Ada yang senang hati mau, ada juga yang pedas hati menolak. Tapi untunglah, saya digaji bukan berdasarkan jumlah responden yang berhasil saya kumpulkan, melainkan dihitung per-jam. Asal sehari sudah mencapai kuota yang telah ditentukan, saya baru boleh pulang. 

Dua hari pertama bekerja, benar-benar saya rasakan beratnya. Saya habiskan waktu sangat lama untuk bisa mencapai quota, dari pagi sampai sore. Memasuki hari ketiga, ketika semua hal menjadi tampak mudah, maksimum tiga jam di lapangan, saya sudah bisa kemas-kemas pulang.

Pekerjaan ini tentu saja mengingatkan pada pengalaman saya waktu jaman kuliah S1 dulu, bekerja untuk sebuah perusahaan Jerman di Jakarta, pada bagian riset pemasaran juga. Nyaris apa yang saya lakukan sekarang, sama dengan apa yang saya lakukan dulu. Tapi saya akui sistem yang dimiliki perusahaan tempat saya bekerja sekarang sangat patut diteladani. Diam-diam, saya belajar banyak dari hari ke hari. Semoga ilmu yang saya dapat bisa berguna kelak.

Beberapa minggu di awal, cuaca Australia Barat sedang memasuki masa transisi. Kadang-kadang angin sangat kencang, kadang panas, kadang hujan. Sekarang sudah memasuki musim panas. Matahari sangat galak. Benar-benar sangat menguras energi. Namun tak apa, demi pekerjaan. Semua persoalan cuaca saya nikmati saja.

Saya tak merencanakan untuk bekerja lama di perusahaan ini. Terserah semesta akan membawa saya kemana. Jika harus lama, silakan, Jika harus berhenti karena ada pekerjaan lain, boleh juga. Atau jika ada jaminan bahwa uang beasiswa akan saya terima akan datang secara teratur dengan nilai yang ditambah hingga bisa mencukupi kebutuhan, mungkin saya tak perlu bekerja lagi. Biar fokus belajar saja. Saat ini, saya ingin jalani apa yang sudah saya mulai. Demi dolar yang harus saya kumpulkan untuk menghadapi resiko hidup di negeri orang.

Bicara uang, saya memang harus jujur. Saya bekerja demi uang, meskipun faktor mencari pengalaman juga penting. Tapi ketika saya sudah memiliki karir pasti di Jakarta, rasanya agak naif kalo alasan mencari pengalaman saya kemukakan, apalagi dulu saya juga pernah merasai pekerjaan seperti ini. Well, menurut saya sangatlah penting memastikan tujuan sebenarnya saya bekerja. Saya teringat pada seorang pensiunan yang menjadi bagian dari tim saya. Dia bilang, kalau bukan karena uang, dia tak mau bekerja lagi. Maunya tinggal menikmati masa tua dengan damai. Tapi karena uang pensiun yang ia terima terbatas, maka dia terpaksa harus mencari penghasilan tambahan. Saya juga bertemu dengan seorang sahabat, mahasiswa internasional, yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah gedung perkantoran, pekerjaan yang sebetulnya tidak dia nikmati, yang juga bicara jujur tentang alasan mengapa  dia bekerja: uang.

Lalu saya terinspirasi. Jujur dengan tindakan, jujur dengan tujuan: saya bekerja demi uang. Tapi saya tak mau memaksakan diri hingga menjadi terpaksa. Saya bekerja karena memang saya mau, suka, dan yeah... butuh uang juga.  




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.