Skip to main content

TKI O TKI

Saat ini kembali kasus-kasus TKW bermunculan. Ada yang disiksa hingga cacat permanen, ada pula yang dibunuh. Mengerikan. Terlepas dari persoalan apakah mereka terampil atau tidak, yang pasti adalah kemampuan berkomunikasi dari TKW itu sendiri.

Saya membayangkan orang-orang menak Arab punya pekerja di rumah yang tidak bisa diajak bicara layak. Apalagi, stereotif orang-orang kampung dengan pendidikan rendah, umumnya 'dusun' dan pemalu. Mungkin mereka hanya bisa tertunduk ketika dihardik majikan.

Kita perlu merubah sistem. Pemerintah tak bisa melepas urusan TKI begitu saja ke pihak swasta. Urusan TKI bukan hal remeh temeh yang tak ada nilainya, apalagi jika dikaitkan dengan devisa tinggi yang mereka sumbangkan untuk negara. Perlu dibuat standar nasional yang jelas. Misalnya, faktor nomor satu, mereka harus mengikuti kursus bahasa sesuai dengan negara yang akan dituju, termasuk bahasa Inggris. Berikutnya, baru keterampilan domestik, seperti penggunaan home appliance dan praktik-praktik kerumahtanggaaan yang oprientasinya sesuai dengan kondisi rumah tangga di negara tujuan. Hal penting lain adalah polesan attitude dan cara penyelamatan diri jika terjadi sesuatu. 

Untuk urusan keamanan dan keselamatan, sepertinya perlu ada sistem komunikasi yang memadai untuk bisa menjangkau TKI dengan mudah. Perlu juga dipertimbangkan penunjukan 'ketua' untuk kawasan-kawasan tertentu, yang tugasnya ikut mendata, memantau, dan membantu jika ada TKI yang bermasalah.

Mungkin jika diberlakukan Minggu sebagai hari libur dan membuat mereka berkumpul di sebuah lokasi tertentu seperti yang berlaku di Hong Kong, saya rasa akan sangat bermanfaat. Selain mereka memiliki kesempatan untuk saling berintekasi yang dapat menjaga kebaikan psikologi, mereka juga akan memiliki rasa aman dan percaya diri yang kuat. Yang diuntungkan nantinya buka hanya TKI, tapi juga majikan, dan kedua negara.









Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.