Saat ini kembali kasus-kasus TKW bermunculan. Ada yang disiksa hingga cacat permanen, ada pula yang dibunuh. Mengerikan. Terlepas dari persoalan apakah mereka terampil atau tidak, yang pasti adalah kemampuan berkomunikasi dari TKW itu sendiri.
Saya membayangkan orang-orang menak Arab punya pekerja di rumah yang tidak bisa diajak bicara layak. Apalagi, stereotif orang-orang kampung dengan pendidikan rendah, umumnya 'dusun' dan pemalu. Mungkin mereka hanya bisa tertunduk ketika dihardik majikan.
Kita perlu merubah sistem. Pemerintah tak bisa melepas urusan TKI begitu saja ke pihak swasta. Urusan TKI bukan hal remeh temeh yang tak ada nilainya, apalagi jika dikaitkan dengan devisa tinggi yang mereka sumbangkan untuk negara. Perlu dibuat standar nasional yang jelas. Misalnya, faktor nomor satu, mereka harus mengikuti kursus bahasa sesuai dengan negara yang akan dituju, termasuk bahasa Inggris. Berikutnya, baru keterampilan domestik, seperti penggunaan home appliance dan praktik-praktik kerumahtanggaaan yang oprientasinya sesuai dengan kondisi rumah tangga di negara tujuan. Hal penting lain adalah polesan attitude dan cara penyelamatan diri jika terjadi sesuatu.
Untuk urusan keamanan dan keselamatan, sepertinya perlu ada sistem komunikasi yang memadai untuk bisa menjangkau TKI dengan mudah. Perlu juga dipertimbangkan penunjukan 'ketua' untuk kawasan-kawasan tertentu, yang tugasnya ikut mendata, memantau, dan membantu jika ada TKI yang bermasalah.
Mungkin jika diberlakukan Minggu sebagai hari libur dan membuat mereka berkumpul di sebuah lokasi tertentu seperti yang berlaku di Hong Kong, saya rasa akan sangat bermanfaat. Selain mereka memiliki kesempatan untuk saling berintekasi yang dapat menjaga kebaikan psikologi, mereka juga akan memiliki rasa aman dan percaya diri yang kuat. Yang diuntungkan nantinya buka hanya TKI, tapi juga majikan, dan kedua negara.
Comments