Saya masih harus bolak-balik menyempurnakan proposal penelitian. Kali ini lebih ke bahasa dan gaya penulisan agar tampak lebih ilmiah. Maklum, kemampuan bahasa Inggris saya masih perlu diperbaiki. Kemarin, hari ini, dan minggu depan, saya masih punya janji untuk bertemu konsultan bahasa. Janji jam 9.30, saya datang jam 10.30. Lupa. Pikun.
Gerimis sudah turun ketika saya keluar dari kantor si konsultan. Siang ini saya perlu mengantar seorang sahabat ke bandara, mau pulang ke Indonesia untuk mengumpulkan data penelitian. Sejak siang, hujan turun dengan awetnya.
Jarak dari kampus Joondalup ke bandara bukanlah jarak yang pendek. Untung bukan di Jakarta. Sebegitu jauh, jalanan masih berasa nyaman. Saat itu lalu lintas lumayan padat. Mungkin karena kendaraan berjalan pelan menghindari kecelakaan karena hujan membuat aspal jadi sangat licin.
Waktu mengarah ke kota sepulang dari bandara, saya sudah merasakan desakan untuk buang air kecil. Sambil terus menyetir, saya mencari peluang dimana saya bisa mampir sebentar untuk menyelinap ke kamar kecil.
Sampai akhirnya saya menemukan pom bensin. Umumnya pom bensin tidak menyediakan toilet untuk umum. Tapi kadang staf meminjamkan toilet mereka untuk dipakai konsumen. Setelah mengisi bensin yang memang sudah kosong separuh, saya meminta ijin untuk meminjam toilet. Ternyata nasib saya belum mujur. Permintaan saya ditolak.
Akhirnya tekan saya bulat untuk langsung ke tengah kota. Saya memang punya rencana untuk donor darah sore itu, sebelum saya mulai kerja. Masuk kawasan kota di sore hari saat orang ramai keluar kantor rasanya memang bukan ide gemilang. Walhasil, hampir setiap perempatan saya berhenti terkena lampu merah. Mana putaran menuju gedung Palang Merah lumayan jauh. Padahal saya betul-betul sudah sangat sakit menahan air seni yang siap muncrat.
Tak hilang akal, saya menemukan sebuah pusat perbelanjaan dimana saya bisa parkir sebentar. Beruntung ada botol jus yang biasa sehari-hari saya gunakan untuk air minum. Alhamdulillah, bisa juga saya menyalurkan hajat.
Saya menyodorkan kartu donor. Seorang ibu dengan ramah menunjukkan dengan siapa seharusnya saya berhubungan. Yang saya lakukan bukan donor darah biasa, tapi hanya plasma saja. Plasma, bagian dari darah yang juga sangat dibutuhkan oleh orang-orang dengan masalah pembekuan darah, misalnya. Karena saya memiliki antibody malaria, saya tak bisa mendonorkan darah, kecuali plasmanya saja. Saya sendiri baru dengar belum lama ini. Pikir saya, apapun bolehlah. Asal bisa berpartisipasi.
Ternyata, plasma itu berwarna kekuningan, keruh. Proses pengambilan plasma dimulai dengan menyalurkan darah ke sebuah mesin. Kemudian, dengan tekonologi yang ada di mesin itu, plasma dipisahkan dari darah. Plasma masuk kantong sementara darah kembali mengalir ke tubuh. Hebat. Di Indonesia, orang seperti saya sudah putuh harapan karena tidak bisa menyumbang.
Dua minggu lagi, saya sudah boleh menyumbangkan plasma lagi, beda dengan donor darah yang paling cepat tiga bulan sekali. Insyaallah saya terus diberi kesehatan dan niat yang baik.
Lalu kerja di sebuah gedung di Adelaide Terrace. Dua jam kerja, pulang. Senin hingga Jumat, saya mendulang dolar di sana. Mumpung summer. Konon, mahasiswa boleh kerja banyak di saat libur kuliah.
Tiba di rumah, mandi, sholat isya, lalu menyiapkan tetek bengek untuk pekerjaan survey besok.
Comments